Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan empat orang tersangka, yaitu Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra, Asrun ayah Adriatma yang juga calon gubernur Sulawesi Tenggara periode 2018-2023, Direktur Utama PT Sarana Bangun Nusantara, Hasmun Hamzah sebagai pemberi suap serta satu orang dari pihak swasta, Fatmawaty Faqih, mantan Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Kendari.
Penetapan ke empat tersangka dilakukan, setelah penyidik melakukan gelar perkara Rabu (28/2/2018) lalu. "Diduga Wali Kota Kendari dan beberapa pihak menerima hadiah pengadaan barang dan jasa tahun 2017-2018," kata Pimpinan KPK, Basaria Panjaitan. Pemberian suap itu juga terkait dengan kepentingan Asrun untuk bertarung dalam Pilkada 2017. KPK menduga nilai suap dalam kasus ini mencapai Rp2,8 miliar. [https://nasional.kompas.com/read/2018/03/01/15455271/kpk-tetapkan-tersangka-wali-kota-kendari-dan-ayahnya-cagub-sultra]
Lagi-lagi pejabat negara korupsi. Sebelumnya, KPK juga telah menetapkan Gubernur Jambi, Zumi Zola Zulkilfi sebagai tersangka, karena diduga melakukan korupsi sebesar Rp6 miliar dalam beberapa proyek di Jambi. Pejabat lainnya yang juga dicokok KPK dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) ialah Bupati Jombang, Nyono Suharli Wihandoko, yang diduga ?Memeras? Uang dari 34 puskesmas di Jombang, sejak bulan Juni hingga Desember 2017, yang nilainya mencapai Rp434 juta.
BACA JUGA: Mau Tahu Sembilan Indikator yang Mendukung Ahok? Baca Ebook ini
Sejumlah kasus di atas masuk dalam deretan panjang skandal korupsi pejabat negara di Indonesia. Menurut information KPK, tahun 2014, pejabat negara yang paling banyak merampok uang rakyat adalah anggota DPR maupun DPRD yaitu sebanyak 23 orang. Para kepala daerah dari tingkat gubernur hingga wali kota atau bupati berjumlah 10 orang. Pejabat eselon I, II, dan III yang korupsi berjumlah 10 orang. Dari kalangan swasta yang terlibat korupsi mencapai 28 orang.
Umumnya, modus operandi korupsi para pejabat itu dalam bentuk penyuapan. Tahun 2014 ada 20 kasus penyuapan, tahun 2015 naik menjadi 38 kasus. Tahun 2016 naik lagi menjadi seventy nine kasus dan di tahun 2017 hingga 30 September lalu, sudah mencapai fifty five kasus penyuapan.
Aktivitas korupsi pejabat negara di negeri ini semakin mengerikan. Mereka bukan hanya menyasar ?Fulus? Negara, tetapi juga pundi-pundi uang yang bercokol di sektor korporasi (swasta). Jaringan korupsi antara pejabat negara dan kalangan swasta juga semakin kuat. Menjamurnya kasus korupsi di Indonesia bagaikan air laut yang tak pernah surut. Bahkan, gelombang korupsi pejabat negara secara berjamaah semakin jadi tren di Indonesia.
Mengapa para pejabat negara semakin berani melakukan korupsi? Pertanyaan ini layak menjadi bahan renungan bersama. Seabrek sanksi hukum untuk para koruptor sudah diterapkan. Tapi, faktanya korupsi semakin menggila. Sanksi hukum tidak mampu membuat jera koruptor.
Tak beda jauh dengan kejahatan narkoba yang bisa merusak sel-sel generasi penerus bangsa, kejahatan korupsi pun bisa mengakibatkan kerusakan yang sama. Kejahatan korupsi bisa merusak moral dan intellectual manusia Indonesia secara massal. Negara bangkrut karena dirampok bangsa sendiri dengan berbagai dalih kerakyatan dan regulasi.
Di sisi lain, sanksi hukum untuk penjahat narkoba sudah selangkah lebih maju dengan menerapkan hukuman mati. Sedangkan, sanksi hukum untuk para koruptor masih berkutat dengan berbagai embel-embel administrasi, diantaranya menyangkut reputation koruptor sebagai pejabat negara. Ujung-ujungnya, bila koruptor ingin ditangkap atau dihukum, harus meminta izin dan persetujuan presiden atau pimpinan lembaga tinggi negara lainnya. Akhirnya, jaringan korupsi antara pejabat negara dan pihak swasta terus tumbuh dan berkembang secara terselubung.
Sesungguhnya, ada satu jalan pintas terbaik untuk memberantas kejahatan korupsi di Indonesia yaitu dengan cara menerapkan hukuman mati seperti dalam kasus narkoba. Solusi ini memang ekstrim. Pelaksanaan hukuman mati di Indonesia memang masih menimbulkan seasoned dan kontra. Sebenarnya, hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Tingginya tindak pidana korupsi di Indonesia dalam 15 tahun terakhir ini, telah membuktikan bahwa penjara bukanlah tempat efektif untuk menurunkan angka korupsi. Skandal korupsi justru terus mengalami peningkatan di berbagai sektor.
Kejahatan korupsi jelas bersifat luar biasa, maka penanganannya pun harus dengan hukum yang ekstra luar biasa. Dalam UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, terdapat dimensi hukuman mati. Hukuman mati juga terdapat dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mayoritas masyarakat Indonesia juga menilai bahwa hukuman mati merupakan cara yang tepat untuk menekan tingginya kasus kejahatan korupsi.
Selain menerapkan hukuman mati bagi para koruptor, negara juga berkewajiban melakukan pembenahan sistem hukum. Dalam sejarah, hukuman mati juga banyak diterapkan kepada tindak kejahatan yang bermacam-macam, termasuk kasus korupsi. Di abad 18 SM, Raja Hammurabi dari Babilonia membuat perintah hukuman mati untuk 25 jenis tindakan kriminal. Hukuman mati juga dilakukan di Mesir pada abad ke sixteen SM yaitu seorang bangsawan dihukum mati karena telah melakukan kegiatan perdukunan.
Sejumlah pakar hukum Internasional menilai, penerapan hukuman mati dapat menghemat biaya pengeluaran negara daripada memenjarakan penjahat seumur hidup. Singapura, negara yang pernah menjadi contoh penerapan hukuman mati, telah menunjukkan angka penurunan tingkat kriminalitasnya secara signifikan, termasuk menurunnya tindak pidana korupsi.
Salam sruput teh tubruk bro…[Wawan Kuswandi ]
www.Fb.Com/INDONESIAComment/
plus.Google.Com/ INDONESIAComment
Indocomm.Blogspot.Com
#INDONESIAComment
Deenwawan.Photogallery.Com
No comments:
Post a Comment