Benarkah Menag gagal menjaga toleransi antarumat beragama? Kalau ini benar, maka kerukunan antar penganut agama di Indonesia berada dalam keadaan kritis. Toleransi terancam!
Umat Kristiani di Kabupaten Dharmasraya dan Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat (Sumbar), kabarnya tidak bisa merayakan Natal bersama, kecuali di tempat ibadah resmi yang ditunjuk pemerintah.
Merespon hal itu, Fachrul Razi menyatakan sudah ada kesepakatan tentang larangan Natal bersama. Lho, kok perayaan Natal harus berdasarkan kesepakatan bersama. Apa maksudnya? Pernyataan ini benar-benar aneh dan diduga kuat ada fakta intoleransi di Sumbar.
"Nanti kita tanya bagaimana kesepakatannya itu. Tapi penjelasan mereka itu 'sudah kesepakatan dan sudah lama Pak itu' begitu," kata Fachrul ketika ditanya awak media di Jakarta, Sabtu (21/12/2019) lalu.
Untuk Kabupaten Dharmasraya, larangan perayaan Natal dikeluarkan Pemerintah Kabupaten melalui surat pemberitahuan tertanggal 10 Desember 2019, merujuk pada pernyataan bersama pemerintah Nagari Sikabau, Ninik Mamak, tokoh masyarakat, dan pemuda Nagari Sikabau, 21 Desember 2017.
Terdapat tujuh poin dalam kesepakatan bersama itu. Salah satunya melarang pelaksanaan Natal bersama umat Kristiani di Jorong Kampung Baru, Kabupaten Dharmasraya. Adapun alasannya ialah untuk menghindari dampak sosial terhadap masyarakat setempat atas keberadaan rumah yang dijadikan tempat ibadah umat Kristiani.
Abaikan Toleransi
Melihat kasus di Sumbar ini, seharusnya Menag berani mengambil keputusan untuk membatalkan surat kesepakatan bersama tentang larangan perayaan Natal tersebut. Namun, tampaknya ada kesan Fachrul Razi takut mengambil keputusan itu.
Bila ditelaah lebih jauh lagi, sikap dan tindakan Menag diduga kuat telah mengabaikan dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia yang terdapat dalam Pasal 28E ayat (1) UUD 1945.
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”.
Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu, dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya, Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.
Bahkan, alinea ketiga pembukaan UUD 1945 berbunyi, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa….” bunyi kalimat ini membuktikan bahwa Indonesia bukan negara agama yang didirikan atas landasan agama tertentu, melainkan negara yang didirikan atas landasan ideologi Pancasila.
Intimidasi Agama
Menag harusnya menyadari bahwa di Indonesia tidak boleh ada intimidasi agama dalam bentuk apapun, khususnya yang menyangkut pelaksanaan hari raya atau ritual ibadah agama tertentu. Surat kesepakatan pelarangan Natal bersama di Dharmasraya, Sumbar merupakan salah satu sikap atau perbuatan anti agama atau intoleransi.
Semestinya, Menag wajib menjaga kerukunan dan toleransi antarumat beragama di Indonesia, agar kesejukan dan kedamaian hidup antar penganut agama dapat terpelihara dengan baik.
Dalam masyarakat Pancasila, negara menjamin setiap warga negaranya untuk bebas melaksanakan kegiatan perayaan atau ritual keagamaan. Jadi, surat kesepakatan bersama pelarangan Natal 2019 di Sumbar, jelas-jelas telah melecehkan atau bahkan menindas keberadaan penganut Kristiani.
Satu hal lagi yang juga perlu dipahami Menag Fachrul Razi ialah dengan tidak membatalkan atau membiarkan adanya surat kesepakatan tentang larangan Natal bersama di Sumbar, maka Menag telah memberi ruang terbuka kepada kelompok intoleransi untuk menindas agama lain yang jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila, UUD 45, etika, ethical dan budaya bangsa.
Sudah sejak lama bangsa ini memegang teguh budaya toleransi antarumat beragama. Apakah Anda paham toleransi Jenderal?#SayaMenteriSemuaAgama
Negara tidak boleh diam dan takut terhadap sekelompok oknum atau ormas berbasis agama yang terus-menerus merongrong ideologi Pancasila dan NKRI. Presiden Jokowi harus bertindak tegas dan keras untuk secepatnya menumpas habis kelompok intoleransi, pengusung khilafah dan menolak kepulangan eks ISIS ke Indonesia.
Pemerintah jangan menunggu bangsa ini meluapkan emosinya secara membabibuta, sehingga bisa memicu perang saundara. Aparat keamanan, TNI dan Polri serta rakyat wajib bahu-membahu menjaga kedamaian, keamanan dan kenyamanan kehidupan rakyat dari Sabang sampai Merauke.
Khusus menyangkut kelompok pengusung khilafah, secara tegas Presiden Pertama Indonesia Ir. Soekarno sudah menyebutkan bahwa Pancasila dan NKRI harga mati. #tumpaskhilafah #tumpasintoleransi #tumpaseksisis
Pemikiran Presiden Ir. Soekarno tentang Islam, ternyata lebih brilian dibandingkan dengan sejumlah cendekiawan muslim nasional yang hidup di zaman now. Sejumlah gagasan dan analisisnya soal Islam masih sangat relevan sekaligus mencerahkan umat muslim Indonesia diera digital sekarang ini.
Bung Karno yang juga murid tokoh utama Sarekat Islam (SI) Tjokroaminoto, sangat bergairah kalau ngomong soal Islam. Dia memberi perhatian penuh terhadap eksistensi Islam di Indonesia. Bung Karno sangat mengutamakan substansi dan esensi Islam.
Dia juga menolak keras, kalau Islam diterjemahkan dalam ajaran yang sangat statis. Bung Karno pernah mengungkapkan istilah ?Api Islam? Yaitu dia ingin menghidupkan kembali jiwa Islam sebagai ajaran regular. Bung Karno sangat tidak sepakat dengan adanya dominasi masyarakat onta atau Islam Sontoloyo.
Dalam kesempatan acara buka puasa bersama sekaligus merayakan syukuran milad bung Karno tanggal 6 Juni 2018 lalu, saya melakukan kongkow imajiner bersama beliau di tempat kelahirannya di rumah sederhana di Pandean gang IV no.Forty, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya. Berikut petikan kongkow tersebut:
Wawan Kuswandi: Apa pendapat Bung, soal umat muslim di Indonesia saat ini?
Bung Karno: Kita gampang sekali menyebut kata kafir. Produk barat dibilang kafir. Kalau kita bergaul dengan nonmuslim dan bukan bangsa Islam disebut kafir. Kalau kita menyebut itu semua kafir, maka kita tidak kekinian dan kita lebih suka dengan keterbelakangan. Inikah Islam yang kita mau? Kalau saya tidak.
Wawan Kuswandi: Jadi seperti apa wajah umat muslim?
Bung Karno: Hampir seribu tahun akal dikungkung, sejak kaum Mu’tazilah sampai Ibnu Rusyd dan lainnya. Asy’arisme pangkal taklidisme dalam Islam. Akal dikutuk seakan-akan datangnya dari setan. Al Qur’an dan Hadits itu tidak berubah. Pandangan masyarakatlah yang senantiasa berevolusi dengan memakai tafsir sendiri-sendiri. Dalam ‘Islam Sontoloyo (1940)’, saya menulis bahwa fiqih bukanlah satu-satunya tiang keagamaan. Tiang utamanya ialah terletak dalam ketundukan, kita punya jiwa pada Allah. Fiqih itu, walaupun sudah kita saring semurni-murninya, belum mencukupi semua kehendak agama. Belum dapat memenuhi syarat-syarat ketuhanan yang sejati, yang juga berhajat kepada tauhid dan akhlaq kepada Allah. Al Qur’an seolah-olah mati karena kitab fiqih yang dijadikan pedoman hidup, bukan kalam Illahi sendiri.
Wawan Kuswandi: Faktanya tentang umat muslim Indonesia?
Bung Karno: Dunia Islam sekarang ini tidak bernyawa karena umat Islam tenggelam dalam kitab fiqihnya saja, tidak terbang seperti burung Garuda di atas udara-udaranya Levend Geloof, yakni udara-udaranya agama yang hidup. Fiqih itu tetap penting. Tapi, saya hanya membenci orang atau perikehidupan agama yang terlalu mendasarkan diri kepada fiqih, kepada hukum-hukumnya syariat itu saja. Saya kasih contoh, saat anjing yang saya pelihara menjilat air di dalam panci di dekat sumur. Saya meminta Ratna Juami untuk membuang air itu dan mencuci panci itu beberapa kali dengan sabun dan kreolin. Di zaman Nabi, belum ada sabun dan kreolin. Nabi Muhammad SAW sendiri telah menyerahkan kepada kita soal urusan dunia. fiqih tidak berdiri sendiri. Fiqih harus disertai dengan tauhid dan etiknya Islam yang menyala-nyala. Fiqih hanyalah ‘kendaraan’ saja.
LIHAT dan BACA JUGA:
Pasang Iklan Pilkada 2020 di Indocomm, Keputusan Tepat!
Wawan Kuswandi: Lantas bagaimana peran par ulama menyikapi ini?
Bung Karno: Dalam ‘Surat-surat Islam dari Endeh (1930-an)’, saya menulis bahwa para ulama dan kiai, tak punya sedikitpun “feeling” kepada sejarah Islam. Mereka hanya tertuju pada bagian fiqih. Tapi, pengetahuan mereka tentang sejarah Islam umumnya nihil. Padahal, sejarah adalah padang penyelidikan yang maha penting! Kita buta dalam menafsirkan itu, karena tidak mengenal tarikh. Jika pemuka agama dan umat Islam Indonesia hanya berorientasi kepada fiqih saja, maka jangan harap umat Islam Indonesia akan dapat mempunyai kekuatan jiwa yang hebat untuk menjunjung dirinya dari keadaan aib sekarang ini. Kemunduran Islam, kekunoan Islam, kemesuman Islam, ketakhayulan orang Islam banyak terjadi karena hadist-hadist lemah yang laku keras dibandingkan ayat-ayat Al Qur’an.
Wawan Kuswandi: Soal adanya wacana sebagiankecil kelompok tertentu yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara khilafah, pendapat Anda?
Bung Karno: Pancasila harga mati bagi NKRI. Khilafah no, Pancasila yes!
Wawan Kuswandi: Pendapat Anda soal khilafah.
ICTV: Gelar Seni Budaya Kampung Silat Rawa Belong, Jakarta Barat
Bung Karno: Dalam terminologi syar’i, khilafah atau Imamah diartikan sebagai kepemimpinan umum yang menjadi hak seluruh kaum muslim untuk menerapkan syariat Islam ke seluruh dunia. Sistem negara khilafah mengatur semua pelaksanaan hukum syara’ terhadap rakyat di seluruh dunia tanpa kecuali (muslim dan non-muslim) mulai dari masalah akidah, ibadah, ekonomi, sosial, pendidikan dan politik. Pemimpin negeri khilafah adalah seorang khalifah yaitu pemimpin muslim yang mendapat otoritas kepemimpinan dari kaum muslim melalui kontrak politik yang disebut bai’at. Kontrak bai’at ini mengharuskan khalifah memerintahkan rakyatnya berdasarkan hukum syariat Islam. Setiap Undang-Undang yang akan dikeluarkan khalifah harus berasal dari hukum Islam dengan metodologi ijtihad. Apabila Khalifah menolak hukum Islam, maka pengadilan tertinggi dan paling berkuasa di negara khilafah yaitu Mahkamah Mazhalim dapat memecat Khalifah.
Wawan Kuswandi: Bagaimana sebenarnya sifat-sifat dasar khilafah?
Bung Karno: Sifat dasar negara khilafah adalah ekspansionis. Khilafah akan selalu memperluas kekuasaannya untuk menyebarkan syariat Islam. Dalam sistem khilafah, kedaulatan berada dalam syariat Islam. Sistem khilafah menghapus negara kebangsaan dan menghilangkan sistem demokrasi. Sistem demokrasi menurut khilafah adalah sistim orang kafir. Padahal, sistem demokrasi berasal dari musyawarah yang sudah tertulis dalam Al Qur’an di surat As-Syura ayat 38 yang berbunyi, “Dan menghadapi perkaramu hendaklah kamu bermusyawarah diantara kalian”.
Wawan Kuswandi: Adakah petunjuk dalam Al Qur’an tentang negara khilafah?
Bung Karno: Sebenarnya, sistem negara khilafah tidak ada dalam Al Qur’an. Sistim negara khilafah justru banyak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits. Negara yang disebut dalam Al Qur’an hanya ada dua yaitu Thayyibah dan Khabitsah. Negara Thayyibah adalah negara yang baik dan negara Khabitsah adalah negara yang buruk. Dari segi konstitusi, Indonesia adalah negara Thayyibah. Buktinya termaktub dalam pembukaan UUD 45 alinea ke 3 yaitu, “Atas berkat Rahmat Allah yang maha kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.
Kongkow ini harus berakhir karena adzan Maghrib telah berkumandang menandakan waktunya berbuka puasa. Saya sangat puas bisa berbincang dengan salah satu presiden paling berpengaruh di dunia. #tumpaskhilafah #tumpasintoleransi #tumpaseksisis
Sumber referensi: http://www.Madinaonline.Identity/khazanah/lima-ciri-islam-sontoloyo-menurut-bung-karno/