Berita Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap Wahid Husein pejabat Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Sukamiskin, Bandung, bagi saya bukan berita menghebohkan, tapi biasa-biasa saja. Wahid Husen diduga menjadi tersangka kasus suap fasilitas koruptor bersama tiga orang lainnya yaitu Hendry Saputra staf Wahid Husein, Fahmi Darmawansyah (koruptor) dan Andi Rahmat (napi umum).
Namanya doang Sukamiskin, padahal di dalamnya menjadi tempat bermukim para napi ‘Sukakaya’. Sejak zaman BJ Habibie jadi presiden hingga Jokowi, Lapas Sukamiskin sudah menjadi rumah kedua favorit bagi koruptor. Sungguh tak mengejutkan ketika sejumlah pejabat korup berbondong-bondong antre mengajukan ‘upeti’ agar bisa masuk atau dimutasi ke Sukamiskin. Sudah menjadi rahasia umum para koruptor bahwa Lapas Sukamiskin terkenal sangat aman dan nyaman. Hal yang sama juga dirasakan oleh para sipir, pejabat administratif dan Kalapas Sukamiskin. Mereka sangat betah dan kabarnya menolak bila akan dimutasi ke lapas lain.
Kucuran duit dan sejumlah iming-iming koruptor kepada pejabat dan sipir penjara tak akan pernah surut. Bahkan, dari hari ke hari terus meningkat seiring banyaknya koruptor yang masuk Sukamiskin. Tidak akan pernah ada konflik internal (antar napi atau antara sipir dengan napi) di Lapas Sukamiskin, karena baik napi maupun pejabat/sipir penjara hidupnya sudah sama-sama sejahtera.Kenyamanan Lapas Sukamiskin melebihi hotel bintang lima di kota Bandung.
Keberadaan Lapas Sukamiskin sangat berbanding terbalik dengan sejumlah lapas lain yang ada di Indonesia. Di beberapa lapas lain selalu saja ada berita kasus konflik antar napi, napi kabur, napi tewas di sel, napi kelaparan, napi sakit tak terurus, perkelahian antar napi dan banyak lagi bentuk-bentuk konflik lainya. Contohnya kasus konflik antara sejumlah napi teroris dengan aparat kepolisian di penjara Mako Brimob, Kelapa Dua baru-baru ini.
Para napi di Sukamiskin benar-benar menikmati hidup sebagaimana layaknya hidup di rumah sendiri. Mereka bebas melakukan apa saja. Bahkan, bisa pelesir keluar rumah sesuka hati hanya dengan ‘menyetor’ uang kepada pejabat yang memiliki otoritas di lapas. Jadi, saya tidak heran ketika dua napi kasus korup yaitu Fuad Amin Imron (Mantan Bupati Bangkalan) dan Tubagus Chaeri Wardana alias wawan (Adik mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah) tidak ada di selnya alias kosong melompong saat KPK melakukan OTT, Sabtu 21 Juli 2018 lalu.
Napi Pelesir
Sesungguhnya, masih sederet nama pejabat korup lainnya yang menjadi penghuni Sukamiskin, sebut saja Ahmad Fathanah, Anas Urbaningrum, Irman Gusman, Gayus Tambunan, Lutfi Hasan Ishaaq, Akil Mochtar dan Setya Novanto. Bukan tidak mungkin mereka juga merasakan surga dunia ala Lapas Sukamiskin.
Sekadar mengingatkan, Lapas Sukamiskin pernah menyalahgunakan izin keluar lapas bagi napi untuk pelesiran, seperti dilakukan koruptor Anggoro Widjojo, Rahmat Yasin, dan Romi Herton. Anggoro tercatat empat kali berada di luar lapas yakni pada tanggal 16 November 2016, 21 November 2016, 14 Desember 2016, dan 29 Desember 2016. Romi Herton tercatat dua kali beraktivitas di luar lapas. Pertama kali terjadi pada tanggal 28 dan 29 November 2016. Hal yang sama juga dilakoni Rahmat Yasin yang sempat meminta izin keluar lapas dan jalan-jalan ke daerah Antapani, Bandung. Ketiga kasus ini melibatkan 23 orang petugas Lapas Sukamiskin.
Saya sangat apresiatif dengan OTT KPK di Sukamiskin. Saya sudah lama tahu bahwa Lapas Sukamiskin itu penjara rasa apartemen mewah. Saya yakin dan percaya bahwa sejumlah pejabat KemenkumHAM pasti tahu kisah ‘kongkalikong’ di Sukamiskin yang sudah ada sejak zaman old ini. Kalau KPK benar-benar mau menelusuri kasus per kasus di Sukamiskin, kemungkinan besar sejumlah pejabat yang pernah memiliki otoritas di Sukamiskin sejak era Habibie hingga Jokowi, bisa masuk Target Operasi (TO) KPK.
Seorang saksi mata yang saya kenal pernah bercerita bahwa temannya yang berposisi sebagai Ketua DPW salah satu parpol di Jakarta, hingga saat ini masih mendekam di Sukamiskin. Menurutnya, saat dia berkunjung ke Sukamiskin, temannya itu hidupnya lebih nikmat daripada di rumahnya sendiri. Dia memiliki saung yang dibangun sendiri dan cukup luas untuk menerima tamu, baik teman-temannya maupun keluarganya. Dia juga memiliki hewan peliharaan dengan kandangnya yang mewah. Di kamar tidurnya ada berbagai fasilitas. Bahkan, dia bisa mengatur jaringan bisnisnya dari dalam penjara dan makan nasi padang terkenal bersama para tamunya. Lebih hebatnya lagi, konon surat dokter juga sudah ‘diatur’ agar para napi bisa keluar Lapas sesuka hati. Saya tidak heran kalau sejumlah sel-sel di Sukamiskin kosong. Mungkin saja mereka sedang travelling, temu bisnis atau berobat ke luar negeri.
Masih banyak cerita menarik dan ‘gaib’ lainnya di Sukamiskin, kalau ditulis semua, artikel ini tidak akan kelar. Kini, Sukamiskin sudah masuk domain KPK. lantas dimana tanggung jawab KemenkumHAM? Semoga seluruh pejabat KemenkumHAM berani mundur dari jabatannya. Kita tunggu saja.
Bila revisi UU KPK bertujuan untuk melemahkan kinerja KPK, maka dapat dipastikan rakyat akan mendukung Presiden Jokowi untuk menolak revisi UU KPK. Jadi, Jokowi tak perlu takut menolak keinginan DPR RI yang sudah menyetujui revisi UU KPK.
Seluruh fraksi di DPR RI menyetujui revisi terbatas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang diusulkan Badan Legislasi DPR. Persetujuan seluruh fraksi disampaikan dalam rapat paripurna, Kamis (five/9/2019) siang. Rencana revisi UU KPK ini langsung menimbulkan polemik sengit dari banyak kalangan.
Pemerhati komunikasi massa yang juga founderThe Wawan Kuswandi Institute, Wawan Kuswandi ikut mengomentari seputar revisi UU KPK ini kepada tim redaksi indonesiacomment.blogspot.com, Senin (9/9/2019). Berikut petikan pernyataannya.
Bagaimana Jokowi harus menyikapi revisi UU KPK?
Jokowi harus hati-hati dan tidak boleh gegabah karena semua fraksi di DPR RI, termasuk parpol pendukungnya menyetujui revisi UU KPK. Jokowi harus mengetahui, mempelajari dan memahami draft revisi itu secara mendalam, terutama menyangkut dampaknya terhadap kinerja KPK dalam memberantas korupsi. Langkah pertama Jokowi ialah harus bertemu dengan para ketua parpol pendukungnya untuk membicarakan secara komprehensif tentang revisi UU KPK. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi khusus dengan para akademisi kampus, aktivis dan lembaga non pemerintah yang concern terhadap kasus-kasus korupsi. Selanjutnya, Jokowi perlu mengadakan survei tentang revisi UU KPK ini kepada masyarakat melalui lembaga survei independen yang kredibel. Terakhir barulah Jokowi melakukan rapat dengan seluruh jajaran menterinya untuk menentukan sikap terhadap revisi UU KPK. Bila semua pertemuan diatas telah dilaksanakan dan ternyata hasilnya menolak revisi UU KPK, maka Jokowi harus menolaknya. Jokowi tidak boleh takut terhadap sikap parpol pendukungnya karena bertentangan dengan sikapnya yang menolak revisi UU KPK. Apakah Jokowi berani? Itu hanya Jokowi yang tahu.
Revisi UUK KPK menyoroti perlunya Dewan Pengawas, menurut Anda?
Tujuan, fungsi dan tugas Dewan Pengawas ini harus jelas secara definitif, agar tidak muncul multitafsir dari berbagai pihak. Saya khawatir pembentukan Dewan Pengawas ini direkayasa untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Terus, fungsi Dewan Pengawas ini apa? Apakah KPK akan diawasi dalam proses dan sistem rekrutmen anggota atau capimnya? Apakah KPK akan diawasi cara kerjanya dalam memberantas korupsi? Apakah manajemen KPK secara menyeluruh akan diawasi? Apakah KPK akan diawasi saat mengeksekusi oknum tertentu yang diduga kuat melakukan korupsi? Masih banyak lagi object yang perlu dikembangkan dalam kerangka pengawasan ini. Lalu, bagaimana prosedur dan proses pembentukan Dewan Pengawas KPK ini? Siapa yang akan menjadi anggota dan pimpinan Dewan Pengawas? Apakah non-public dari pengadilan, kepolisian, politisi, aktivis anti korupsi, elit ormas atau bisa juga dari lembaga asing. Ini juga harus jelas! Saya menduga mungkin ada kepentingan tertentu dari sejumlah politisi atau parpol yang ingin membuat KPK tidak bebas bergerak. Saya tidak setuju bila revisi UUK KPK dinilai melemahkan KPK. Saya justru melihat ada semacam skenario besar dari sejumlah politisi dan parpol yang ingin mengebiri KPK melalui kontrol Dewan Pengawas. Dewan Pengawas tidak perlu ada selama KPK melaksanakan tugasnya dengan baik, benar dan tepat. Kalau ada oknum KPK melakukan penyimpangan terhadap fungsi dan tugasnya (abuse of electricity), maka rakyat harus bertindak secara massal dengan melaporkan penyimpangan itu ke aparat hukum seperti polri, ombudsman, melakukan gugatan ke pengadilan atau bisa juga melakukan aksi demo besar-besaran. Saya percaya rakyat akan menjadi pengawas yang sangat efektif dan pengaruhnya sangat besar.
Polemik penyadapan KPK juga jadi sorotan, apa pandangan Anda?
Penyadapan adalah salah satu modus operandi KPK yang paling efektif untuk melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap oknum yang diduga kuat melakukan korupsi. Hal inilah yang menyebabkan sejumlah politisi busuk takut mata rantai korupsinya terbongkar. Mereka menilai KPK tidak boleh seenaknya melakukan penyadapan tanpa ada yang mengontrol atau mendapat izin dari Dewan Pengawas. Kalau argumen ini dijadikan alasan, maka sejumlah oknum politisi yang ada di Parlemen sangat tidak cerdas. Namanya juga penyadapan, maka sifatnya rahasia agar tidak bocor sehingga OTT KPK berhasil maksimal. Penyadapan adalah hak mutlak KPK. Penyadapan adalah salah satu kekuatan KPK untuk membongkar kasus korupsi. Namun, tentu saja sebelum melakukan penyadapan, KPK sudah memiliki bukti kuat terhadap oknum tertentu yang diduga kuat melakukan tindak pidana korupsi. Jadi, soal penyadapan yang dilakukan KPK ini tidak perlu izin, selama proses operasionalnya tepat sasaran dan tidak melanggar hukum. Tetapi, bila penyadapan itu salah sasaran, maka KPK harus bertanggung jawab untuk mengembalikan nama baik oknum yang kena OTT. Petugas atau pejabat KPK yang salah salah sasaran dalam OTT itu harus dikenakan sanksi hukum dan dipecat. Nah, hal inilah yang justru perlu diatur secara jelas dalam UU KPK.
Menurut Anda, perlukah UU KPK direvisi?
Untuk saat ini belum perlu. Justru yang perlu mendapat perhatian serius ialah saat proses pemilihan capim KPK oleh pansel capim KPK. Orang yang akan menjabat pimpinan KPK haruslah memiliki integritas tinggi, jujur, dan berani bertindak. Kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan, penyitaan, penggeledahan sudah menjadi hak mutlak KPK. Sedangkan pengawasannya oleh rakyat. Oleh karena itulah, Jokowi harus tetap percaya terhadap independensi KPK. Revisi UU KPK yang disetujui DPR RI berpotensi membuat kinerja KPK tumpul. Kalau ini terjadi, maka siap-siap duit negara dirampok oleh oknum-oknum elite yang suka bawa-bawa nama rakyat, padahal dalam kenyataannya mereka bohong besar. Jangan biarkan negara bangkrut hanya karena membiarkan perampok elite bebas berkeliaran dengan mengatasnamakan Undang-Undang(*)
Kapolri Jenderal Idham Aziz mempunyai tanggung jawab besar untuk menyelesaikan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan yang terjadi tanggal 11 April 2017 silam.
Mau tidak mau dan suka tidak suka, Kapolri memiliki beban moral untuk meneruskan perjuangan Tito Karnavian dalam memburu dalang dan pelakunya.
Secara tegas dan jelas, Jenderal Idham Azis berjanji akan mengusut tuntas kasus penyerangan Novel Baswedan. Janji itu dikatakannya saat dia konferensi pers bersama Ketua KPK Agus Rahardjo, di Gedung KPK, Jakarta, Senin (4/11/2019) lalu. Idham mengatakan, pengusutan kasus Novel akan dilakukan oleh Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) baru. Dia juga berjanji akan mencari perwira terbaik untuk membongkar kasus ini.
Di sisi berbeda, politisi PDIP Dewi Tanjung justru menuding kasus penyiraman air keras ke wajah Novel Baswedan merupakan rekayasa dan dia sudah melaporkan tudingannya itu ke Polda Metro Jaya.
Dewi berpendapat, Novel telah merekayasa peristiwa penyiraman air keras. "Ada beberapa hal janggal dari rekaman CCTV, bentuk luka, perban, dan kepala yang diperban. Tapi, tiba-tiba malah mata yang buta," kata Dewi di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Rabu (6/11/2019) lalu.
Selain dua persoalan di atas, Jenderal Idham Aziz juga harus membongkar adanya dugaan kelompok Taliban di tubuh KPK. Menurut berita yang beredar di media massa, kelompok Taliban yang berada dibawah komando Novel Baswedan diduga kuat telah menjadikan lembaga KPK sebagai alat untuk mendukung kelompok kepentingan tertentu yang bersifat politis. Tampaknya, soal isu Taliban ini perlu secepatnya dituntaskan agar masyarakat tidak terpengaruh oleh banyaknya pernyataan dari sejumlah oknum politisi yang menyebut telah terjadi pelemahan KPK.
Saya mengistilahkan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan Jenderal Idham Aziz terhadap kasus Novel Baswedan ini sebagai operasi ‘Mata Dajjal’. Dalam melaksanakan operasi ini, Jenderal Idham Aziz harus berani dan mampu mengeksekusi hasilnya dengan benar dan tepat sasaran. Kapolri dipastikan akan berhadapan dengan oknum-oknum super kuat yang melindungi adanya dugaan transaksi kasus korupsi, kepentingan politik di tubuh KPK serta kasus-kasus korupsi yang mangkrak.
Strategi operasi ‘Mata Dajjal’ mungkin akan dimulai dengan penelusuran masuknya Novel Baswedan sebagai penyidik KPK. Kapolri akan meneliti dan mendalami semua kasus-kasus yang ditangani Novel Baswedan. Sejumlah Ketua KPK mungkin akan dipanggil sebagai saksi atas beberapa kasus OTT yang dilakukan Novel Baswedan dan kasus-kasus korupsi besar yang mangkrak.
Jenderal Idham Aziz juga bertanggung jawab untuk menemukan adanya rumors tentang hilangnya surat pengaduan atau pelaporan masyarakat kepada KPK yang isinya meminta KPK untuk menyelidiki dugaan korupsi di Pemprov DKI Jakarta yang dipimpin Gubernur Anies Baswedan. Selain itu, wadah Karyawan di tubuh KPK yang selama ini dituding telah melakukan penyebaran radikalisme, juga akan menjadi titik fokus penyidikan Kapolri.
Operasi ‘Mata Dajjal’ ini menjadi taruhan sangat mahal bagi Jenderal Idham Azis. Bila kasus ini gagal terungkap, maka KPK akan mati selamanya dan rakyat tidak percaya lagi kepada KPK dan Polri. Namun, bila kasus ini berhasil tuntas dalam waktu cepat, maka publik akan semakin percaya bahwa KPK memang sebagai lembaga anti korupsi yang sangat kuat. Selamat berjuang jenderal…!!!
Pernyataan Jokowi itu muncul sebagai jawaban atas pertanyaan seorang siswa kelas XII Harley Hermansyah yang mempertanyakan ketegasan pemerintah dalam memberantas korupsi. Harley bertanya mengapa koruptor tak dihukum mati.
Lebih lanjut Jokowi menjelaskan aturan soal hukuman kepada koruptor ada di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Namun, sampai sekarang belum ada koruptor dihukum mati.
"Kalau masyarakat berkehendak seperti itu dalam rancangan UU Pidana Tipikor [hukuman mati] itu dimasukkan. Tapi sekali lagi juga termasuk [kehendak] yang ada di legislatif [DPR]," ujar Jokowi seperti diberitakan CNN Indonesia (11/12/2019).
Sebenarnya bagaimana sikap Jokowi, bila hukuman mati diterapkan kepada para koruptor. Berikut obrolan santai Wawan Kuswandi dari indocomm.blogspot.com dengan Presiden Joko Widodo, Selasa (10/12/2019) lalu.
Wawan Kuswandi: Menurut bapak, apakah perilaku korup bangsa ini sudah sangat parah?
Jokowi: Parah atau tidaknya kasus kejahatan korupsi di Indonesia, bisa diukur dari beberapa indikator. Misalnya, menurut data KPK tahun 2014, pejabat negara yang paling banyak merampok uang rakyat adalah anggota DPR maupun DPRD yaitu sebanyak 23 orang. Para kepala daerah dari tingkat gubernur hingga walikota atau bupati berjumlah 10 orang. Pejabat eselon I, II, dan III yang korupsi berjumlah 10 orang. Dari kalangan swasta yang terlibat korupsi mencapai 28 orang. Belum lagi data terbaru tahun ini (2018/2019), mungkin jumlah koruptor semakin meningkat.
Wawan Kuswandi: Bagaimana modus operandi para koruptor ini bekerja sehingga mereka bisa dengan nyaman merampok uang negara?
Jokowi: Umumnya, modus operandi korupsi para pejabat itu dalam bentuk penyuapan. Tahun 2014 ada 20 kasus penyuapan, tahun 2015 naik menjadi 38 kasus. Tahun 2016 naik lagi menjadi 79 kasus dan di tahun 2017 hingga 30 September lalu, sudah mencapai 55 kasus penyuapan. Sekali lagi ingin saya katakan mungkin saja di tahun 2018 dan 2019 semakin tinggi.
Wawan Kuswandi: lembaga-lembaga apa saja yang menjadi sasaran empuk para koruptor?
Jokowi: Perilaku korup pejabat negara negeri ini semakin mengerikan. Mereka bukan hanya menyasar uang negara, tetapi juga pundi-pundi uang yang bercokol di sektor korporasi (swasta). Jaringan korupsi antara pejabat negara dan kalangan swasta juga semakin kuat. Menjamurnya kasus korupsi di Indonesia bagaikan air laut yang tak pernah surut. Bahkan, gelombang korupsi pejabat negara secara berjamaah semakin jadi tren di Indonesia.
Wawan Kuswandi: KPK sebagai lembaga anti korupsi, tampaknya sudah menjalankan fungsinya dengan baik, tapi mengapa korupsi tetap terus terjadi?
Jokowi: Pertanyaan ini menjadi bahan renungan kita semua. Seabrek sanksi hukum untuk para koruptor sudah diterapkan. OTT KPK juga sudah banyak. Tapi, faktanya korupsi semakin menggila. Sanksi hukum dan OTT tidak mampu membuat jera koruptor. Tak beda jauh dengan kejahatan narkoba yang bisa merusak sel-sel generasi penerus bangsa, kejahatan korupsi juga bisa mengakibatkan kerusakan yang sama. Kejahatan korupsi bisa merusak moral dan mental manusia Indonesia secara massal. Negara bangkrut karena dirampok bangsa sendiri dengan berbagai dalih kerakyatan dan regulasi.
Wawan Kuswandi: Perlukah diterapkan hukuman mati bagi koruptor?
Jokowi: Sanksi hukum untuk penjahat narkoba sudah selangkah lebih maju dengan menerapkan hukuman mati. Sedangkan, sanksi hukum untuk para koruptor masih berkutat dengan berbagai embel-embel administrasi, diantaranya menyangkut status koruptor sebagai pejabat negara. Ujung-ujungnya, bila koruptor ingin ditangkap atau dihukum, harus meminta izin dan persetujuan presiden atau pimpinan lembaga tinggi negara lainnya. Akhirnya, jaringan korupsi antara pejabat negara dan pihak swasta terus tumbuh dan berkembang secara terselubung.
Wawan Kuswandi: Bagaimana pelaksanaan hukum mati bagi koruptor, bila jadi diterapkan?
Jokowi: Sesungguhnya, jalan pintas terbaik untuk memberantas kejahatan korupsi di Indonesia adalah dengan cara menerapkan hukuman mati seperti dalam kasus narkoba. Solusi ini memang ekstrim. Pelaksanaan hukuman mati di Indonesia memang masih menimbulkan pro dan kontra. Sebenarnya, hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Tingginya tindak pidana korupsi di Indonesia dalam 15 tahun terakhir ini, telah membuktikan bahwa penjara bukanlah tempat efektif untuk menurunkan angka korupsi di berbagai sektor.
Wawan Kuswandi: Sebenarnya bagaimana sifat kejahatan korupsi ini?
Jokowi: Kejahatan korupsi bersifat sangat luar biasa, maka penanganannyapun harus dengan hukum yang ekstra luar biasa. Dalam UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, terdapat dimensi hukuman mati. Hukuman mati juga terdapat dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Aturan Tipikor tentang hukuman mati ini hanya berlaku bagi pelaku korupsi dana bencana alam. Hukuman mati juga bisa dikenakan kepada pelaku korupsi saat negara sedang krisis moneter atau pelaku korupsi berulang kali melakukan perbuatannya. Namun, sampai saat ini belum ada koruptor yang sampai divonis mati oleh pengadilan. Yang sudah ada aturannya saja belum pernah ada vonis hukuman mati dari pengadilan.Mayoritas masyarakat Indonesia juga menilai bahwa hukuman mati merupakan cara yang tepat untuk menekan tingginya kasus kejahatan korupsi. Namun, sebelum menerapkan hukuman mati bagi para koruptor, negara berkewajiban melakukan pembenahan sistem hukum nasional. Dalam sejarah, hukuman mati juga banyak diterapkan terhadap tindak kejahatan yang bermacam-macam, termasuk kasus korupsi.
Wawan Kuswandi: Apakah hukuman mati akan segera diterapkan tahun 2020?
Jokowi: Kalau masyarakat berkehendak seperti itu, kenapa tidak! Tapi tentu kita harus mempertimbangkan berbagai aspek hukum, kemanusiaan dan Undang-Undang sebelum memutuskan hukuman mati bagi koruptor, termasuk persetujuan dari pihak legislatif. Dari beberapa literasi yang saya baca, sejumlah pakar hukum Internasional menilai penerapan hukuman mati dapat menghemat biaya pengeluaran negara daripada memenjarakan koruptor seumur hidup. Contoh lainnya yang lebih ekstrim dan pernah terjadi yaitu di penjara Sukamiskin Bandung, para koruptor malah menjadi raja dan hidup mewah di dalam terali besi. Apakah ini yang kita mau? Kini saatnya hukuman mati bagi para koruptor!
Skandal mega korupsi di perusahaan asuransi pelat merah Jiwasraya dibongkar habis Menteri BUMN Erick Thohir. Sejumlah pihak yang diduga kuat terlibat, terus dikejar pihak aparat hukum. KPK telah menetapkan lima tersangka yaitu Direktur Utama PT Hanson Internasional Tbk (MYRX) Benny Tjokrosaputro atau Benny Tjokro, eks Direktur Utama Jiwasraya Hendrisman Rahim, eks Direktur Keuangan Jiwasraya Hary Prasetyo, Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) Heru Hidayat, Eks Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya Syahmirwan.
Dibalik hebohnya skandal ?Perampokan? Dana nasabah Jiwasraya ini, tiba-tiba saja Ketua Umum Parpol Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) panik, benarkah?
Kepanikan ayah AHY ini nampak dalam tulisan di Facebook pribadinya. Dalam tulisan panjang di Facebooknya, Senin (27/1/2020), SBY mengungkapkan informasi tentang rencana penjatuhan dua menteri Presiden Joko Widodo (Jokowi) through Pansus Jiwasraya. SBY juga menceritakan soal kasus Pansus Century.
Berikut tulisan SBY dalam laman FB pribadinya tentang Jiwasraya:
PENYELESAIAN KASUS JIWASRAYA AKAN SELAMATKAN NEGARA DARI KRISIS YANG LEBIH BESAR
Sewaktu saya mendengar ada kasus keuangan yang menimpa PT. Asuransi Jiwasraya, salah satu BUMN kita, saya tak berkomentar apapun. Pikir saya, bisa saja sebuah korporat, termasuk Jiwasraya, mengalami masalah demikian. Pasang surut keadaan keuangan perusahaan, sehat-tidak sehat, boleh dikata lumrah. Namun, ketika dalam perkembangannya saya ketahui angka kerugiannya mencapai 13 triliun rupiah lebih, saya mulai tertarik untuk mengikutinya. Ini cukup serius.
Ketika Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan bahwa permasalahan Jiwasraya sudah terjadi sejak 10 tahun lalu, sayapun tak merasa terusik. Tesis saya, untung rugi dalam dunia bisnis bisa saja terjadi. Kalau mengetahui kondisi keuangannya tak sehat, korporat tentu segera melakukan langkah-langkah perbaikan. Bahkan ketika beberapa saat kemudian, Kementerian BUMN secara eksplisit mengatakan bahwa masalah Jiwasraya bermula di tahun 2006, saya juga tak merasa terganggu. Apalagi, di tahun 2006 dulu saya tak pernah dilapori bahwa terjadi krisis keuangan yang serius di PT. Jiwasraya.
Namun, ketika mulai dibangun opini, dan makin kencang, bahwa seolah tidak ada kesalahan pada masa pemerintahan sekarang ini, dan yang salah adalah pemerintahan SBY, saya mulai bertanya... Apa yang terjadi? Kenapa isunya dibelokkan? Kenapa dengan cepat dan mudah menyalahkan pemerintahan saya lagi? Padahal, saya tahu bahwa krisis besar, atau jebolnya keuangan Jiwasraya ini terjadi 3 tahun terakhir. Karenanya, dihadapan staf dan beberapa tamu saya di rumah yang merasa tidak terima jika lagi-lagi saya yang disalahkan, saya sampaikan komentar ringan saya. Intinya, kalau memang tak satupun di negeri ini yang merasa bersalah dan tak ada pula yang mau bertanggung jawab, ya salahkan saja masa lampau.
Saat ini, krisis keuangan Jiwasraya ini telah menjadi pembicaraan dan perhatian rakyat Indonesia. Kegaduhan politik terjadi. Termasuk di kalangan parlemen, wakil rakyat. Rumor dan desas desus mulai berkembang. Menyasar ke sana ke mari. Fakta dan opini bercampur aduk. Terkadang tak mudah membedakan mana berita yang benar, dan mana yang "hoax" dan fitnah. Karena itu, seperti biasanya, saya tak mau ikut-ikutan berkata sembarangan. Main tuduh dan memvonis seseorang atau pihak-pihak tertentu sebagai bersalah bukanlah karakter saya. Di samping itu, saya juga percaya bahwa pada saatnya kebenaran dan keadilan akan datang. Datangnya mungkin lambat, tapi pasti.
Ada yang dibidik dan hendak dijatuhkan?
Awal Januari 2020, isu Jiwasraya makin ramai dibicarakan. Ditambah dengan isu Asabri. Bisik-bisik, sejumlah lembaga asuransi dan BUMN lain, konon juga memiliki permasalahan keuangan yang serius.
Di kalangan DPR RI mulai dibicarakan desakan untuk membentuk Pansus. Tujuannya agar kasus besar Jiwasraya bisa diselidiki dan diselesaikan secara tuntas. Bahkan, menurut sejumlah anggota DPR RI dari Partai Demokrat, yang menggebu-gebu untuk membentuk Pansus juga dari kalangan partai-partai koalisi. Tentu ini menarik. Meskipun belakangan kita ketahui bahwa koalisi pendukung pemerintah lebih memilih Panja. Bukan Pansus.
Ketika saya gali lebih lanjut mengapa ada pihak yang semula ingin ada Pansus, saya lebih terperanjat lagi. Alasannya sungguh membuat saya "geleng kepala". Katanya... Untuk menjatuhkan sejumlah tokoh. Ada yang "dibidik dan harus jatuh" dalam kasus Jiwasraya ini. Menteri BUMN yang lama, Rini Sumarno harus kena. Menteri yang sekarang Erick Thohir harus diganti. Menteri Keuangan Sri Mulyani harus bertanggung jawab. Presiden Jokowi juga harus dikaitkan.
Mendengar berita seperti ini, meskipun belum tentu benar dan akurat, saya harus punya sikap. Sikap saya adalah tak baik dan salah kalau belum-belum sudah main "goal-targetan".
Kepada para kader Demokrat yang menjadi anggota DPR RI dengan tegas saya larang untuk ikut-ikutan berpikir yang tidak benar itu. Punya niat dan motif seperti itu. Itu salah besar. Nama-nama yang sering disebut di arena publik, dan seolah pasti terlibat dan bersalah, belum tentu bersalah. Termasuk tiga nama tadi. Secara pribadi saya mengenal Ibu Sri Mulyani, Ibu Rini dan Pak Erick sebagai sosok yang kompeten dan mau bekerja keras. Kalau tingkat presiden, sangat mungkin Pak Jokowi juga tidak mengetahui jika ada penyimpangan besar di tubuh Jiwasraya itu. Prinsipnya, jangan memvonis siapapun sebagai bersalah, sebelum secara hukum memang terbukti bersalah.
Saya jadi teringat akan peristiwa politik yang terjadi sepuluh tahun yang lalu. Pasca Pemilu 2009, dunia politik digaduhkan oleh isu "bail-out" Bank Century. Berbulan-bulan politik kita tidak stabil. Namun, apa yang ingin saya katakan? Sama seperti sekarang ini, nampaknya ada yang dibidik dan hendak dijatuhkan. Saya sangat tahu bahwa yang harus jatuh adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan juga mantan Gubernur BI, Wakil Presiden Boediono. Jika bisa, SBY juga diseret dan dilengserkan. Memang cukup seram.
Rumor dan berita yang dibangun juga tak kalah seramnya. Diisukan jumlah dana 6,7 triliun dalam penyelamatan Bank Century semuanya mengalir ke Tim Sukses SBY dalam Pilpres 2009. Termasuk para petinggi Partai Demokrat. Dengan gegap gempita karenanya Pansus dibentuk, hak angket digunakan oleh DPR RI.
Namun saya tetap tenang. Saya juga tak takut dengan dibentuknya Pansus. Bahkan tak pernah menghalanginya. Padahal koalisi pendukung pemerintah cukup kuat waktu itu. Jumlah anggota DPR RI dari Partai Demokrat juga sangat besar, 148 orang. Mengapa saya tak takut dengan Pansus Bank Century?
Saya memegang fakta dan kebenaran mengapa dilakukan "bail-out" pada Bank Century. Ada alasan yang sangat kuat mengapa para otoritas keuangan mengambil keputusan yang berani tetapi berisiko tinggi. Dengan "judgement" mereka, yang memiliki kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, pilihan dan keputusan harus diambil. Sejarah menunjukkan bahwa setelah itu Indonesia selamat dari krisis. Pertumbuhan ekonomi kita hanya sempat turun satu tahun, dari 6% di tahun 2008, menjadi 4,6% di tahun 2009. Namun, tahun depannya (2010) naik lagi ke angka 6,2%, dan bahkan tahun 2011 menjadi 6,5%. Oleh dunia, Indonesia dinilai berhasil meminimalkan dampak krisis global tahun 2008 dulu. Jadi ada alasan yang sah. "Bail-out" Bank Century adalah solusi. Kalau kita kaitkan dengan jebolnya keuangan Jiwasraya sebesar thirteen,7 triliun rupiah saat ini, adakah alasan yang dapat diterima akal sehat mengapa itu terjadi? Inilah yang ingin diketahui oleh rakyat kita.
Saya juga sangat yakin bahwa dulu baik Menkeu Sri Mulyani dan Gubernur BI Boediono tak punya niat buruk. Tujuannya adalah agar ekonomi Indonesia selamat dari krisis. Itu juga yang saya lakukan dan ikhtiarkan siang dan malam sebagai Presiden. Alhamdulillah, ekonomi kita selamat. Tidak jatuh seperti di tahun 1998 dulu. Saya yakin pula kedua pejabat itu (SMI & Boediono) tak melakukan korupsi. Meskipun untuk "bail-out" Bank Century itu tak perlu meminta ijin saya sebagai Presiden, tetapi keduanya diberikan wewenang oleh undang-undang untuk mengambil keputusan. Jadi, yang mereka lakukan sah dan kuat secara hukum.
Perihal tuduhan ada aliran dana yang besar ke Tim Sukses SBY saya justru mendorong dilakukannya audit oleh BPK. Silahkan dicek apakah memang ada aliran dana ke situ. Terhadap pihak yang melemparkan fitnah kepada sejumlah nama, yang dituduh menerima dana Bank Century, juga saya dorong untuk diselesaikan di mahkamah pengadilan. Saya berani "menantang" siapapun yang memfitnah. Ini penting agar secara terbuka dapat diketahui siapa yang salah dan siapa yang benar. KPK saya tahu juga sudah bekerja. Hasilnya, memang tak ada aliran dana apapun ke Tim Sukses SBY dan Partai Demokrat. Tak ada pula aliran dana Bank Century ke kantong saya. Itu haram. Saya ingin, baik melalui Pansus maupun jalur hukum semua proses dibuka, dan rakyat bisa mengikutinya. Kalau tidak, mungkin sampai sekarang masih ada yang menyangka ada korupsi dan aliran dana Bank Century ke tangan-tangan pihak yang berkuasa, termasuk ke jajaran Partai Demokrat.
Kita ingin Indonesia menjalankan politik yang berkeadaban. Jangan suka main tuduh, main fitnah dan "character assassination". Selama 10 tahun saya mengemban amanah dulu, tak pernah henti saya menerima tuduhan, fitnah dan juga pembunuhan karakter. Sebagai manusia saya, dan juga almarhumah Ani Yudhoyono, sangat merasakan betapa menderita dan tidak adilnya perlakuan sebagian kalangan itu. Karenanya, saya menyeru janganlah cara-cara buruk itu terus kita jalankan di negeri ini. Tak perlu presiden-presiden setelah saya harus mengalami nasib yang sama.
Pintu gerbang untuk mencegah krisis keuangan yang lebih besar
Opini dan persepsi yang berkembang di masyarakat saat ini adalah pemerintah dituduh ingin menutupi dan melokalisasi kasus besar Jiwasraya ini. Mengapa ditutup-tutupi, kata mereka, karena pemerintah ingin mengamankan, melindungi dan menyelamatkan pihak-pihak tertentu. Gagasan untuk membentuk Pansus di DPR RI nampaknya juga mengalami hambatan dan bahkan seolah "ditutup" jalannya. Padahal, banyak pihak meyakini bahwa dengan digunakannya hak angket oleh DPR RI, penyelidikan dapat dilakukan secara menyeluruh kepada siapapun. Kepada pihak manapun yang punya kaitan dengan krisis keuangan di Jiwasraya. Bahkan terhadap yang melakukan penyimpangan di BUMN-BUMN yang lain.
Tentu saja persepsi publik seperti itu belum tentu benar. Bisa salah. Saya tidak tahu mengapa masyarakat (meskipun tidak semua) punya persepsi seperti itu. Saya juga tidak tahu apakah itu sebuah "halusinasi", atau mereka merasa memiliki informasi yang sahih.
Tetapi, di sisi lain mungkin pula pemerintah punya alasan mengapa "tidak setuju" atas dibentuknya Pansus untuk menyelidiki mega skandal yang terjadi di Jiwasraya. Namun, perlu diingat, sebenarnya Pansus atau bukan Pansus itu sepenuhnya merupakan hak dan kewenangan DPR RI. Kewenangan lembaga legislatif. Bukan kewenangan pemerintah sebagai lembaga eksekutif. Begitu bunyi konstitusi kita (UUD 1945). Saya kira semua juga setuju bahwa era di mana parlemen (DPR) hanya mengikuti kemauan pemerintah seperti di era otoritarian dulu sudah berakhir.
Dengan terjadinya krisis besar di Jiwasraya ini, ditambah informasi yang dapat dipercaya bahwa sejumlah BUMN yang lain juga mengalami permasalahan yang relatif serius, Asabri misalnya, saatnya negara melakukan koreksi besar. Melakukan perbaikan total. Atau bahkan bersih-bersih. Bisa saja kasus Jiwasraya ini ibarat sebuah "puncak dari gunung es". Nampak kecil di atas permukaan, ternyata besar yang tidak kelihatan. Kalau secara kumulatif kerugian negara mencapai jumlah puluhan triliun, sebenarnya itu sudah tergolong krisis besar. Sangat bisa bersifat sistemik, terstruktur dan masif. Barangkali tidak keliru apa yang dikatakan oleh BPK bahwa krisis keuangan Jiwasraya ini bersifat sistemik dan "gigantic".
Jika setelah dilakukan penyelidikan yang serius dan komprehensif ternyata ditemukan kesamaan "modus" penggelapan uang rakyat, negara tidak boleh menyepelekan kasus-kasus penyimpangan ini. Apalagi jika ternyata otak dan operatornya berasal dari kelompok yang sama. Apalagi pula jika kecerobohan dan penyimpangan itu dilakukan dengan metodologi yang sama.
Bagaimana jika modus investasi di "saham gorengan" ini juga terjadi di lembaga asuransi atau menyangkut dana pensiun di lembaga-lembaga yang lain. Misalnya jika ternyata juga terjadi di Asabri yang katanya potensi kerugiannya mencapai 10 hingga 16 triliun rupiah. Atau juga jika terjadi di PT. Taspen yang diinformasikan memiliki pertumbuhan investasi saham minus 23% dalam dua tahun terakhir. Mudah-mudahan informasi yang sangat mencemaskan ini tidak benar adanya. Artinya apa yang berkembang di masyarakat luas itu tidak benar. Benar atau tidak benar sesungguhnya dapat diketahui jika pemeriksaan dan penyelidikan terhadap kasus-kasus ini dilakukan secara "open, transparant and comprehensive".
Masalah menjadi lebih serius jika ternyata keserampangan dan juga penyimpangan pengelolaan keuangan korporat ini terjadi di BUMN-BUMN lain. Maksudnya, bukan hanya lembaga asuransi dan dana pensiun semata. Ingat aset BUMN secara nasional lebih dari 8.000 triliun rupiah. Jangan sampai negara dan rakyat "kecolongan" bahwa miliknya banyak yang telah "raib". Raib karena ketidak beresan dan penyimpangan yang terjadi di perusahaan-perusahaan itu.
Karenanya, saatnya telah tiba untuk melakukan koreksi dan perbaikan total. Membiarkan penyimpangan seperti ini terjadi, dan terus terjadi, menurut saya adalah sebuah kejahatan. Jika setelah kita lakukan penyelidikan jumlah uang negara yang raib ini tidak sebesar yang diduga banyak kalangan, tetap saja ada manfaatnya. Artinya, negara bisa melakukan pencegahan dan peringatan keras kepada siapapun yang tidak cakap dan lalai dalam mengelola keuangan BUMN. Tapi, jika ternyata jumlah kerugian keuangan negara itu sedemikian besarnya, tindakan yang tegas dan tuntas harus dilakukan. Tindakan demikian akan dapat menyelamatkan Indonesia dari krisis yang lebih besar lagi di masa depan.
Saya yakin, Presiden Jokowi juga ingin penyimpangan-penyimpangan serius ini bisa diungkap semuanya, dan yang bersalah diberikan sanksi yang adil. Pasti Presiden Jokowi tidak ingin ada permasalahan serius terbiarkan dan terus berlangsung, sehingga negeri ini menyimpan banyak "bom waktu". Bom waktu yang setiap saat bisa meledak dan mengakibatkan terjadinya krisis besar. Pasti pula presiden kita ingin mengakhiri masa jabatannya dengan baik dan tidak membiarkan terjadinya skandal-skandal berskala besar yang sangat melukai hati rakyat kita.
7 Arena Penyelidikan dan Penyelesaian Krisis Jiwasraya
Ada pertanyaan kunci yang harus dapat dijawab yaitu apa saja yang harus diselidiki? Hal ini amat penting agar keseluruhan penyimpangan dan kesalahan dalam kedua kasus besar ini dapat diungkap. Perbaikan menyeluruh dalam hal manajemen dan akuntabilitas keuangan BUMN-BUMN di masa depan sulit dilakukan, jika kita sendiri tidak terbuka dan tidak jujur atas berbagai permasalahan fundamental yang ada.
Menurut pendapat saya, paling tidak ada 7 arena investigasi yang harus disentuh atau dimasuki.
Meskipun sudah banyak beredar jumlah kerugian atau uang yang raib di BUMN ini, antara lain dari sumber BPK, namun investigasi harus bisa menentukan jumlah ini secara akurat. Benarkah jumlah kerugian untuk Jiwasraya sebesar 13,7 triliun rupiah? Benar pulakah Asabri juga mengalami kerugian sebesar 10 hingga 16 triliun rupiah?
Arena 2: Mengapa jebol?
Benarkah jebolnya keuangan di BUMN ini karena penempatan (placement) dana investasi perusahaan pada saham-saham yang berkinerja buruk? Penempatan dana perusahaan yang ceroboh dan keliru ini disengaja atau tidak? Apakah memang penempatan dana korporat yang salah ini disengaja karena ada yang ingin mengambil keuntungan secara pribadi?
Arena 3: Siapa yang bikin jebol?
Perlu dilakukan investigasi siapa saja yang menyebabkan jebolnya keuangan BUMN tersebut. Benarkah hanya 5 orang sebagaimana yang diduga oleh kejaksaan agung kita? Adakah aktor intelektual yang bekerja "di belakang"? Hal ini sangat penting agar negara tidak salah mengadili dan menghukum seseorang.
Arena 4: Apakah memang ada uang yang mengalir dan digunakan untuk dana politik (pemilu)?
Investigasi ini penting dilakukan untuk menjawab pertanyaan dan praduga kalangan masyarakat bahwa dalam kasus Jiwasraya ini dicurigai ada yang mengalir ke tim sukses Pemilu 2019 yang lalu. Baik yang mengalir ke partai politik tertentu maupun tim kandidat presiden. Tuduhan ini persis dengan yang saya alami ketika dilakukan "bail-out" Bank Century dulu. Karenanya, untuk membersihkan nama baik partai politik tertentu dan Presiden Jokowi sendiri, penyelidikan tentang hal ini patut dilakukan. Biar gamblang, dan rakyat mendapatkan jawabannya. Saya pribadi tidak yakin kalau Pak Jokowi sempat berpikir agar tim suksesnya mendapatkan keuntungan dari penyimpangan yang terjadi di Jiwasraya tersebut.
Arena 5: Berapa uang rakyat yang mesti dijamin & dikembalikan?
Salah satu penyelesaian krisis keuangan Jiwasraya adalah agar rakyat atau peserta asuransi di korporat tersebut tidak dirugikan. Mereka tidak bersalah. Uangnya harus dijamin dan dikembalikan pada saatnya. Apalagi "korban" Jiwasraya juga berasal dari negara lain (Korea Selatan) sebanyak 474 nasabah dengan nilai 574 miliar rupiah. Kalau tidak ada jaminan yang pasti, dikhawatirkan akan mengurangi kepercayaan para nasabah asuransi di Indonesia secara keseluruhan. Juga akan merusak kepercayaan pasar, baik domestik mupun internasional, terhadap sistem dan pengelolaan keuangan di negeri kita.
Arena 6: Adakah kaitan dan persamaan modus kejahatan kasus Jiwasraya dan kasus-kasus lain?
Pengungkapan di arena ini sangat penting. Baik investigasi parlemen maupun hasil kerja lembaga audit dan penegak hukum harus mampu mengungkapnya. Apakah memang ada kaitan dan kesamaan modus kejahatan yang terjadi di Jiwasraya dengan BUMN-BUMN yang lain jika kelak ditemukan? Kalau memang tidak ada atau tidak ditemukan, kita bisa menghela nafas dengan lega. Alhamdulillah. Namun kalau ada, krisis ini menjadi sangat serius. Mengapa? Sangat mungkin keseluruhan penyimpangan ini merupakan kejahatan yang terorganisasi (organized crime) dengan para "arsitek" yang bekerja di belakangnya. Kalau mimpi buruk ini adalah kenyataannya, memang negara harus melakukan "bersih-bersih" secara total.
Arena 7: Bagaimana solusi & penyelesaiannya ke depan?
Solusi ke depan harus dilakukan secara menyeluruh. Yang perlu diperbaiki bisa menyangkut pemberian sanksi hukum kepada para pelakunya; penyehatan kembali keuangan korporat; serta pemberian jaminan dan pengembalian uang milik nasabah. Ke depan harus ditingkatkan kepatuhan kepada undang-undang, sistem dan aturan; "judgement" jajaran manajemen yang jauh lebih baik; serta pengawasan yang lebih seksama dari otoritas jasa keuangan, parlemen dan pemerintah terhadap jajaran BUMN.
Khusus pemberian jaminan dan pengembalian uang nasabah (rakyat), saya menyarankan agar segera dibentuk Lembaga Penjamin Polis melalui sebuah undang-undang, agar didapat kepastian hukum untuk itu. Pemerintah memang terlambat menjalankan kewajibannya untuk membentuk Lembaga Penjamin Polis tersebut. Kalau Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 yang saya tanda- tangani pada bulan Oktober 2014 dulu diindahkan dan dilaksanakan, maka paling lambat bulan Oktober 2017 kita sudah punya Lembaga Penjamin Polis. Namun, dalam suasana seperti sekarang ini tak perlulah pemerintah harus disalahkan secara berlebihan. Tak baik mengambil keuntungan politik ketika orang lain sedang susah. Tak ada pahalanya. Yang penting, pemerintah segera menerbitkan undang-undang dan membentuk Lembaga Penjamin Polis tersebut. Yang paling penting, uang yang raib yang jumlahnya sangat besar itu, termasuk potensi untuk kehilangan yang lebih besar lagi, harus diatasi. Harus ditutup lubangnya. Harus bisa disehatkan kembali kondisinya. Solusinya... ya pilih cara yang paling masuk akal, kredibel dan benar-benar menyelesaikan masalah. Bukan hanya untuk meredakan kegaduhan politik saat ini.
Namun, rakyat perlu pula memberi kesempatan kepada korporat dan pemerintah untuk menentukan kebijakan, strategi dan bentuk penyehatan kedua BUMN tersebut. Jangan apriori terlebih dahulu. Sangat mungkin pemerintah memiliki solusi yang "cespleng". Kitapun juga bisa memberikan pandangan dan saran kepada pemerintah, jika pemerintah membuka diri untuk itu.
Yang penting apa yang hendak dilakukan pemerintah itu "sensible, doable, achievable and fundable". Artinya masuk akal, bisa dilakukan, bisa mencapai sasaran dan bisa mendapatkan pendanaan. Ide untuk membentuk sebuah "holding company" dalam usaha asuransi dan dana pensiun tidak keliru. Yang penting, pastikan bahwa "net" keuangannya positif. Jangan karena sangat dipaksakan, malah semua BUMN menjadi tidak sehat keuangannya. Jika untuk menutup dan menyediakan dana yang dibutuhkan akan dicarikan dari investor, pastikan investor itu juga "kredibel" dan memang ada. Ingat, jebolnya Jiwasraya antara lain karena pertimbangannya serampangan (poor judgement). Jangan sampai penyelesaian krisis Jiwasraya ini tidak didasari oleh pertimbangan yang matang dan kuat. Jika DPR RI melakukan investigasi, perlu pula menguji dan mendalami apakah solusi yang hendak dijalankan oleh korporat dan pemerintah tersebut benar-benar kredibel.
Dewan Perwakilan Rakyat bisa menggunakan hak konstitusionalnya untuk melakukan investigasi (penyelidikan)
Nafas dan jiwa dari konstitusi kita adalah adanya prinsip "checks and balances" di antara lembaga-lembaga negara yang utama. Di antaranya, adalah antara lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tujuannya, agar tidak ada kekuasaan yang absolut tanpa dicheck atau diawasi oleh kekuasaan yang lain. Power must not go unchecked. Dalam kaitan krisis keuangan yang terjadi di Jiwasraya, yang berada dalam jajaran pemerintahan (eksekutif), maka sesuai dengan konstitusi dan nilai-nilai demokrasi yang kita anut, DPR RI wajib melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Implementasinya, DPR RI bisa menggunakan haknya untuk mengetahui tentang apa, mengapa dan bagaimana penyimpangan di BUMN itu terjadi.
Mengingat besarnya angka kerugian negara serta kompleksitas dan keterkaitan antar lembaga yang terkait, maka agar lebih efektif hasilnya, DPR RI bisa menggunakan hak konstitusional yang dimilikinya. Dalam kaitan ini, saya berpendapat DPR RI lebih tepat menggunakan hak angket agar penyelidikan dapat dilaksanakan secara menyeluruh. Jika ingin kasus besar ini dapat diungkap secara gamblang, seraya membuktikan bahwa tidak ada keterlibatan elemen pemerintah dalam penyimpangan yang mengakibatkan kerugian negara belasan triliun rupiah itu, inilah kesempatannya. Karenanya, negara dan Presiden harus membuka diri dan mendukung dibentuknya Pansus dan penggunaan hak angket DPR RI, agar tuduhan miring yang dialamatkan kepadanya dapat dibuktikan tidak benar. Di era saya dulu, ingat saya 4 kali DPR menggunakan hak angketnya.
Setuju, jangan terlalu dipolitisasi
Sejumlah kalangan mengatakan janganlah kasus Jiwasraya dan Asabri ini terlalu dipolitisasi. Saya sangat setuju. Meskipun, bagaimanapun tak mungkin hal begini akan terbebas sama sekali dari perbincangan politik.
Masih kuat dalam ingatan saya ketika Pansus dibentuk oleh DPR dan hak angket digunakan untuk melakukan penyelidikan atas "bail-out" Bank Century 10 tahun yang lalu. Politik kita luar biasa gaduhnya. Serangan kepada pemerintah dan tentunya saya sendiri juga sangat gencar. Ditambah pula dengan unjuk rasa yang marak, yang digelar di mana-mana. Teriakannya "turunkan SBY-Boediono!". Sampai-sampai, yang berpikiran jernih berkomentar, sebenarnya kasus Bank Century ini soal hukum, ekonomi atau politik?
Saya jadi ingat pula, dulu pada periode pertama kepresidenan saya, teriakan para pengunjuk rasa adalah "Cabut Mandat SBY-JK". Mengapa? Mereka, dan lawan-lawan politik saya, melakukan protes karena 3 kali pemerintah menaikkan harga BBM lantaran harga minyak dunia meroket. Padahal kenaikan itu diperlukan guna mengurangi subsidi BBM dalam APBN, dan untuk menyehatkan fiskal kita. Itupun pemerintah lakukan dengan tetap membantu kaum miskin dan tidak mampu (melalui "cash transfer").
Kembali ke hiruk-pikuk "bail-out" Bank Century, secara jujur harus saya katakan bahwa kegaduhan politik yang melampaui batas itu tentu mengganggu stabilitas politik dan stabilitas sosial kita. Juga mengganggu konsentrasi pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Menghadapinya, saya harus tetap bertahan dan harus memimpin jajaran kabinet seraya mengajak semua untuk kuat dan terus bekerja.
Pengalaman yang saya alami itu, melalui artikel yang saya tulis ini, tak perlu terjadi lagi. Tak perlu dialami orang lain. Tak perlu ada gerakan atau teriakan "turunkan Jokowi". Ingat yang saya katakan sebelumnya ~ janganlah terlalu mudah memvonis atau menghakimi siapapun sebagai bersalah. Apalagi pemimpin kita, Presiden Republik Indonesia.
Dalam keadaan negara seperti ini jangan pula ada "penumpang gelap", yang punya tujuan dan agenda tertentu. Jangan punya nafsu untuk menjatuhkan pemimpin dan pemerintahan di tengah jalan. Dulu hal begini beberapa kali saya alami. Kekuasaan harus didapatkan secara sah. Kalau tidak halal, Allah tidak akan merahmatinya. Kekuasaan harus didapatkan melalui pemilu. Itu jalan konstitusional yang disediakan oleh negara. Tentu saja pemilu ini harus benar-benar berlangsung secara jujur dan adil. Aparat negara harus netral. Tangan-tangan kekuasaan tak boleh bekerja di luar jalan pemilu yang harus "free and fair" itu.
Indonesia adalah negara hukum. Ada "rule of law". Mari kita hormati. Rakyat harus menghormatinya. Tentu saja negara dan pemerintah harus memberi contoh terlebih dahulu dalam penegakan "rule of law" itu. Panglimanya hukum, bukan politik. Bukan kekuasaan. Kalau pemerintah tidak memberi contoh yang baik, sebaliknya melanggar dan menyepelekan pranata hukum ini, rakyat akan sangat terluka hatinya.
Ini momentum baik bagi koreksi besar dan perbaikan total
Penyelesaian krisis keuangan Jiwasraya ini, atau mungkin masih ada lagi yang lain, adalah momentum baik yang disediakan oleh sejarah. Momentum untuk bersih-bersih. Momentum untuk koreksi dan perbaikan total.
Sangat mungkin yang melakukan penyimpangan dan menjalankan manajemen yang buruk juga terjadi di banyak perusahaan. Barangkali sejarah mengingatkan kepada kita semua, janganlah tidak patuh kepada konstitusi, undang-undang, sistem dan aturan yang berlaku. Janganlah kita meninggalkan prinsip-prinsip "good governance" dan "good corporate governance" yang menjunjung tinggi transparansi dan akuntabilitas. Janganlah para pengawas dan lembaga audit permisif dan tidak sensitif terhadap tanda-tanda adanya penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara. Janganlah kita bertindak tanpa pemikiran yang matang. Sebagaimana "wisdom" yang saya dapatkan di tanah Sunda (lebih dari separuh hidup saya, saya tinggal di Jawa Barat) yang mengajarkan ... jangan selalu berpikir dan bertindak "kumaha engke". Tetapi, "engke kumaha". Maknanya, berpikir dulu sebelum bertindak. Jangan sebaliknya, gegabah dalam bertindak akhirnya menjadi masalah besar di hari kemudian.
Alhamdulillah, Tuhan masih menyediakan hari esok. Kalau ada kesalahan kita, misalnya apa yang terjadi di PT. Jiwasraya dan mungkin lembaga lain, yang punya dampak besar, mulai saat inilah kita lakukan perbaikan. Insya Allah kita bisa. Indonesia Bisa.
Cikeas, 27 Januari 2020
Benarkah apa yang dikatakan SBY? Semestinya seorang SBY tidak dengan mudah dan gegabah membuat pernyataan yang bersifat opini yang mungkin saja akan memperkeruh skandal Jiwasraya. SBY wajib mempertanggungjawabkan pernyataannya secara hukum. Tidak etis rasanya seorang mantan presiden mengeluarkan pernyataan atau analisis yang diduga bernada politis dan mungkin bisa mempengaruhi proses penyelidikan dan penyidikan kasus Jiwasraya.
Atas dasar apa SBY mengeluarkan pernyataan itu? Apa maksud SBY membandingkan kasus Century dengan Jiwasraya. Siapakah oknum atau kelompok yang dikatakannya membidik Rini Soemarno, Sri Mulyani (Menkeu) dan Erick Thohir (Meneg BUMN)? Apa motivasi SBY menyebarkan informasi itu? Siapa dan apa sebenarnya target dan sasaran SBY? Apakah SBY mempunyai tujuan politis secara terselubung? Mengapa SBY lantang membeberkan 7 solusi & penyelesaian skandal Jiwasraya? Mengapa SBY tiba-tiba mau ikut campur soal penanganan skandal Jiwasraya. Bukankah penyelidikan dan penyidikan skandal Jiwasraya sudah dilaksanakan oleh Kejagung, KPK dan aparat hukum lainnnya. Semestinya SBY menyadari hal ini. Akan lebih bijak bila SBY diam dan menunggu hasil akhir dari skandal Jiwasraya ini.
Motif SBY
Dalam perspektif sederhana atau awam, ada empat kemungkinan atau dugaan yang membuat seorang SBY membuat pernyataan soal Jiwasraya, yaitu :
Pertama, kemungkinan atau patut diduga SBY ingin agar skandal Jiwasyara ini diselesaikan secara tuntas dan transparan kepada publik.
Kedua, kemungkinan atau patut diduga SBY ingin mengalihkan isu korupsi dengan isu politik.
Ketiga, kemungkinan atau patut diduga SBY mengetahui siapa dalang dan para ‘perampok’ uang nasabah Jiwasraya.
Keempat, kemungkinan atau patut diduga SBY menakut-nakuti nama pejabat yang disebutnya karena mungkin saja ketiga pejabat itu sudah mengendus pelaku kejahatan di Jiwasraya.
Polri, KPK serta Kejagung wajib memanggil SBY untuk memberikan klarifikasi secara hukum atas pernyataannya itu. Tujuannya ialah agar ayah AHY ini berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan yang langsung dipublis ke sosial media. SBY harusnya menyadari bahwa mungkin saja pernyataannya itu akan membuat gaduh situasi politik nasional sekaligus meresahkan publik, terutama nasabah Jiwasraya. Selain itu, agar pernyataan SBY ini tidak dipolitisir oleh kelompok tertentu yang memiliki tujuan politis dan melebar kemana-mana yang pada akhirnya membuat rakyat menjadi gagal fokus.
Kerugian Negara
BPK mengidentifikasi ada 16 temuan dalam Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (PDTT) yang dilakukan terhadap Jiwasraya tahun 2016. Beberapa temuan itu, diantaranya penempatan saham di PT Trikomsel Oke Tbk (TRIO), PT Sugih Energy Tbk (SUGI), dan PT Eureka Prima Jakarta Tbk (LCGP) tahun 2014 dan 2015.
Jiwasraya berpotensi gagal bayar atas pembelian medium term note (MTN) PT Hanson International Tbk (MYRX). Saat ini, Jiwasraya terlibat tekanan likuiditas. Manajemen Jiwasraya menyebut ekuitas perseroan negatif sebesar Rp23,92 triliun per September 2019. Pasalnya, liabilitas perseroan mencapai Rp49,6 triliun, sedangkan asetnya hanya Rp25,68 triliun. Jiwasraya juga belum dapat membayar klaim polis jatuh tempo sebesar Rp12,4 triliun kepada nasabah tahun 2019.
Jiwasraya berpotensi merugikan keuangan negara Rp13,7 triliun per Agustus 2019. Kejagung sudah memanggil sejumlah saksi, antara lain mantan Direktur Utama Jiwasraya Asmawi Syam, mantan Kepala Divisi Sekretariat Jiwasraya Sumarsono, mantan Kepala Divisi Hukum Jiwasraya Ronang Andrianto. Kemudian, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Riswinandi sebagai petinggi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai saksi ahli. Lalu, Direktur Utama Hanson International Benny Tjokrosaputro, mantan Agen Bancassurance Jiwasraya Getta Leonardo Arisanto, Kadiv Pertanggungan Perorangan dan Kumpulan Jiwasraya Budi Nugraha. Kejagung juga telah mencekal 10 orang terkait pengusutan kasus dugaan korupsi Jiwasraya.
Kronologi Jiwasraya
Mulai tahun 2002 Jiwasraya mengalami kesulitan. Berdasarkan catatan BPK, Jiwasraya membukukan laba semu sejak tahun 2006. Tapi, tahun 2014, Jiwasraya menjadi sponsor klub sepak bola Manchester City. Tahun 2015, Jiwasraya meluncurkan produk JS Saving Plan dengan cost of fund yang sangat tinggi di atas bunga deposito dan obligasi. Dana itu iinvestasikan dalam saham dan reksadana berkualitas rendah.
Di tahun 2017, Jiwasraya memperoleh opini tidak wajar dalam laporan keuangannya. Padahal, saat itu Jiwasraya membukukan laba Rp360,3 miliar. Opini tidak wajar itu diperoleh akibat adanya kekurangan pencadangan keuangan sebesar Rp7,7 triliun. Pada tahun 2018, Jiwasraya membukukan kerugian unaudited sebesar Rp15,3 triliun. Pada posisi per 30 Juni 2018, Jiwasraya diketahui memiliki 28 produk reksadana dengan 20 reksadana diantaranya memiliki porsi di atas 90 persen. Bulan September 2019, kerugian menurun jadi Rp13,7 triliun. Di bulan November 2019, Jiwasraya mengalami negative equity sebesar Rp27,2 triliun.
Melihat persoalan keuangan Jiwasraya yang semakin kronis, BPK mendapat permintaan dari Komisi XI DPR RI dengan surat Nomor PW/19166/DPR RI/XI/2019 tanggal 20 November 2019 untuk melakukan PDTT lanjutan atas permasalahan itu. Selain itu, BPK juga diminta Kejaksaan Agung untuk mengaudit kerugian negara. Permintaan itu dilayangkan melalui surat tanggal 30 Desember 2019.
Jadi, penanganan skandal korup Jiwasraya bukan hanya masuk di sektor audit saja, tetapi juga ranah hukum. Skandal Jiwasraya ini merupakan kasus kejahatan berskala luar biasa karena memiliki risiko sistemik dan melibatkan banyak pejabat.