Showing posts with label Koruptor. Show all posts
Showing posts with label Koruptor. Show all posts

Sunday, June 28, 2020

Sejak Zaman Old Sukamiskin Mewah, Akhirnya Tamat oleh KPK, Tanggung Jawab KemenkumHAM?

Berita Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap Wahid Husein pejabat Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Sukamiskin, Bandung, bagi saya bukan berita menghebohkan, tapi biasa-biasa saja. Wahid Husen diduga menjadi tersangka kasus suap fasilitas koruptor bersama tiga orang lainnya yaitu Hendry Saputra staf Wahid Husein, Fahmi Darmawansyah (koruptor) dan Andi Rahmat (napi umum).

Namanya doang Sukamiskin, padahal di dalamnya menjadi tempat bermukim para napi ‘Sukakaya’. Sejak zaman BJ Habibie jadi presiden hingga Jokowi, Lapas Sukamiskin sudah menjadi rumah kedua favorit bagi koruptor. Sungguh tak mengejutkan ketika sejumlah pejabat korup berbondong-bondong antre mengajukan ‘upeti’ agar bisa masuk atau dimutasi ke Sukamiskin. Sudah menjadi rahasia umum para koruptor bahwa Lapas Sukamiskin terkenal sangat aman dan nyaman. Hal yang sama juga dirasakan oleh para sipir, pejabat administratif dan Kalapas Sukamiskin. Mereka sangat betah dan kabarnya menolak bila akan dimutasi ke lapas lain.

Kucuran duit dan sejumlah iming-iming koruptor kepada pejabat dan sipir penjara tak akan pernah surut. Bahkan, dari hari ke hari terus meningkat seiring banyaknya koruptor yang masuk Sukamiskin. Tidak akan pernah ada konflik internal (antar napi atau antara sipir dengan napi) di Lapas Sukamiskin, karena baik napi maupun pejabat/sipir penjara hidupnya sudah sama-sama sejahtera.Kenyamanan Lapas Sukamiskin melebihi hotel bintang lima di kota Bandung.

Keberadaan Lapas Sukamiskin sangat berbanding terbalik dengan sejumlah lapas lain yang ada di Indonesia. Di beberapa lapas lain selalu saja ada berita kasus konflik antar napi, napi kabur, napi tewas di sel, napi kelaparan, napi sakit tak terurus, perkelahian antar napi dan banyak lagi bentuk-bentuk konflik lainya. Contohnya kasus konflik antara sejumlah napi teroris dengan aparat kepolisian di penjara Mako Brimob, Kelapa Dua baru-baru ini.

Para napi di Sukamiskin benar-benar menikmati hidup sebagaimana layaknya hidup di rumah sendiri. Mereka bebas melakukan apa saja. Bahkan, bisa pelesir keluar rumah sesuka hati hanya dengan ‘menyetor’ uang kepada pejabat yang memiliki otoritas di lapas. Jadi, saya tidak heran ketika dua napi kasus korup yaitu Fuad Amin Imron (Mantan Bupati Bangkalan) dan Tubagus Chaeri Wardana alias wawan (Adik mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah) tidak ada di selnya alias kosong melompong saat KPK melakukan OTT, Sabtu 21 Juli 2018 lalu.

Napi Pelesir

Sesungguhnya, masih sederet nama pejabat korup lainnya yang menjadi penghuni Sukamiskin, sebut saja Ahmad Fathanah, Anas Urbaningrum, Irman Gusman, Gayus Tambunan, Lutfi Hasan Ishaaq, Akil Mochtar dan Setya Novanto. Bukan tidak mungkin mereka juga merasakan surga dunia ala Lapas Sukamiskin.

Sekadar mengingatkan, Lapas Sukamiskin pernah menyalahgunakan izin keluar lapas bagi napi untuk pelesiran, seperti dilakukan koruptor Anggoro Widjojo, Rahmat Yasin, dan Romi Herton. Anggoro tercatat empat kali berada di luar lapas yakni pada tanggal 16 November 2016, 21 November 2016, 14 Desember 2016, dan 29 Desember 2016. Romi Herton tercatat dua kali beraktivitas di luar lapas. Pertama kali terjadi pada tanggal 28 dan 29 November 2016. Hal yang sama juga dilakoni Rahmat Yasin yang sempat meminta izin keluar lapas dan jalan-jalan ke daerah Antapani, Bandung. Ketiga kasus ini melibatkan 23 orang petugas Lapas Sukamiskin.

Saya sangat apresiatif dengan OTT KPK di Sukamiskin. Saya sudah lama tahu bahwa Lapas Sukamiskin itu penjara rasa apartemen mewah. Saya yakin dan percaya bahwa sejumlah pejabat KemenkumHAM pasti tahu kisah ‘kongkalikong’ di Sukamiskin yang sudah ada sejak zaman old ini. Kalau KPK benar-benar mau menelusuri kasus per kasus di Sukamiskin, kemungkinan besar sejumlah pejabat yang pernah memiliki otoritas di Sukamiskin sejak era Habibie hingga Jokowi, bisa masuk Target Operasi (TO) KPK.

Seorang saksi mata yang saya kenal pernah bercerita bahwa temannya yang berposisi sebagai Ketua DPW salah satu parpol di Jakarta, hingga saat ini masih mendekam di Sukamiskin. Menurutnya, saat dia berkunjung ke Sukamiskin, temannya itu hidupnya lebih nikmat daripada di rumahnya sendiri. Dia memiliki saung yang dibangun sendiri dan cukup luas untuk menerima tamu, baik teman-temannya maupun keluarganya. Dia juga memiliki hewan peliharaan dengan kandangnya yang mewah. Di kamar tidurnya ada berbagai fasilitas. Bahkan, dia bisa mengatur jaringan bisnisnya dari dalam penjara dan makan nasi padang terkenal bersama para tamunya. Lebih hebatnya lagi, konon surat dokter juga sudah ‘diatur’ agar para napi bisa keluar Lapas sesuka hati. Saya tidak heran kalau sejumlah sel-sel di Sukamiskin kosong. Mungkin saja mereka sedang travelling, temu bisnis atau berobat ke luar negeri.

Masih banyak cerita menarik dan ‘gaib’ lainnya di Sukamiskin, kalau ditulis semua, artikel ini tidak akan kelar. Kini, Sukamiskin sudah masuk domain KPK. lantas dimana tanggung jawab KemenkumHAM? Semoga seluruh pejabat KemenkumHAM berani mundur dari jabatannya. Kita tunggu saja.

Salam sruput teh tubruk bro…[ Wawan Kuswandi ]

Indocomm.blogspot.co.id

www.facebook.com/INDONESIAComment/

plus.google.com/+INDONESIAComment

@INDONESIAComment

@wawan_kuswandi

#INDONESIAComment

Deenwawan.photogallery.com

Foto: Istimewa

Sunday, May 10, 2020

Jokowi: Saatnya Koruptor Dihukum Mati! [Wawancara Imajiner]

Pernyataan Jokowi itu muncul sebagai jawaban atas pertanyaan seorang siswa kelas XII Harley Hermansyah yang mempertanyakan ketegasan pemerintah dalam memberantas korupsi. Harley bertanya mengapa koruptor tak dihukum mati.

Lebih lanjut Jokowi menjelaskan aturan soal hukuman kepada koruptor ada di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Namun, sampai sekarang belum ada koruptor dihukum mati.

"Kalau masyarakat berkehendak seperti itu dalam rancangan UU Pidana Tipikor [hukuman mati] itu dimasukkan. Tapi sekali lagi juga termasuk [kehendak] yang ada di legislatif [DPR]," ujar Jokowi seperti diberitakan CNN Indonesia (11/12/2019).

Sebenarnya bagaimana sikap Jokowi, bila hukuman mati diterapkan kepada para koruptor. Berikut obrolan santai Wawan Kuswandi dari indocomm.blogspot.com dengan Presiden Joko Widodo, Selasa (10/12/2019) lalu.

Wawan Kuswandi: Menurut bapak, apakah perilaku korup bangsa ini sudah sangat parah?

Jokowi: Parah atau tidaknya kasus kejahatan korupsi di Indonesia, bisa diukur dari beberapa indikator. Misalnya, menurut data KPK tahun 2014, pejabat negara yang paling banyak merampok uang rakyat adalah anggota DPR maupun DPRD yaitu sebanyak 23 orang. Para kepala daerah dari tingkat gubernur hingga walikota atau bupati berjumlah 10 orang. Pejabat eselon I, II, dan III yang korupsi berjumlah 10 orang. Dari kalangan swasta yang terlibat korupsi mencapai 28 orang. Belum lagi data terbaru tahun ini (2018/2019), mungkin jumlah koruptor semakin meningkat.

Wawan Kuswandi: Bagaimana modus operandi para koruptor ini bekerja sehingga mereka bisa dengan nyaman merampok uang negara?

Jokowi: Umumnya, modus operandi korupsi para pejabat itu dalam bentuk penyuapan. Tahun 2014 ada 20 kasus penyuapan, tahun 2015 naik menjadi 38 kasus. Tahun 2016 naik lagi menjadi 79 kasus dan di tahun 2017 hingga 30 September lalu, sudah mencapai 55 kasus penyuapan. Sekali lagi ingin saya katakan mungkin saja di tahun 2018 dan 2019 semakin tinggi.

Wawan Kuswandi: lembaga-lembaga apa saja yang menjadi sasaran empuk para koruptor?

Jokowi: Perilaku korup pejabat negara negeri ini semakin mengerikan. Mereka bukan hanya menyasar uang negara, tetapi juga pundi-pundi uang yang bercokol di sektor korporasi (swasta). Jaringan korupsi antara pejabat negara dan kalangan swasta juga semakin kuat. Menjamurnya kasus korupsi di Indonesia bagaikan air laut yang tak pernah surut. Bahkan, gelombang korupsi pejabat negara secara berjamaah semakin jadi tren di Indonesia.

Wawan Kuswandi: KPK sebagai lembaga anti korupsi, tampaknya sudah menjalankan fungsinya dengan baik, tapi mengapa korupsi tetap terus terjadi?

Jokowi: Pertanyaan ini menjadi bahan renungan kita semua. Seabrek sanksi hukum untuk para koruptor sudah diterapkan. OTT KPK juga sudah banyak. Tapi, faktanya korupsi semakin menggila. Sanksi hukum dan OTT tidak mampu membuat jera koruptor. Tak beda jauh dengan kejahatan narkoba yang bisa merusak sel-sel generasi penerus bangsa, kejahatan korupsi juga bisa mengakibatkan kerusakan yang sama. Kejahatan korupsi bisa merusak moral dan mental manusia Indonesia secara massal. Negara bangkrut karena dirampok bangsa sendiri dengan berbagai dalih kerakyatan dan regulasi.

Wawan Kuswandi: Perlukah diterapkan hukuman mati bagi koruptor?

Jokowi: Sanksi hukum untuk penjahat narkoba sudah selangkah lebih maju dengan menerapkan hukuman mati. Sedangkan, sanksi hukum untuk para koruptor masih berkutat dengan berbagai embel-embel administrasi, diantaranya menyangkut status koruptor sebagai pejabat negara. Ujung-ujungnya, bila koruptor ingin ditangkap atau dihukum, harus meminta izin dan persetujuan presiden atau pimpinan lembaga tinggi negara lainnya. Akhirnya, jaringan korupsi antara pejabat negara dan pihak swasta terus tumbuh dan berkembang secara terselubung.

Wawan Kuswandi: Bagaimana pelaksanaan hukum mati bagi koruptor, bila jadi diterapkan?

Jokowi: Sesungguhnya, jalan pintas terbaik untuk memberantas kejahatan korupsi di Indonesia adalah dengan cara menerapkan hukuman mati seperti dalam kasus narkoba. Solusi ini memang ekstrim. Pelaksanaan hukuman mati di Indonesia memang masih menimbulkan pro dan kontra. Sebenarnya, hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Tingginya tindak pidana korupsi di Indonesia dalam 15 tahun terakhir ini, telah membuktikan bahwa penjara bukanlah tempat efektif untuk menurunkan angka korupsi di berbagai sektor.

Wawan Kuswandi: Sebenarnya bagaimana sifat kejahatan korupsi ini?

Jokowi: Kejahatan korupsi bersifat sangat luar biasa, maka penanganannyapun harus dengan hukum yang ekstra luar biasa. Dalam UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, terdapat dimensi hukuman mati. Hukuman mati juga terdapat dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Aturan Tipikor tentang hukuman mati ini hanya berlaku bagi pelaku korupsi dana bencana alam. Hukuman mati juga bisa dikenakan kepada pelaku korupsi saat negara sedang krisis moneter atau pelaku korupsi berulang kali melakukan perbuatannya. Namun, sampai saat ini belum ada koruptor yang sampai divonis mati oleh pengadilan. Yang sudah ada aturannya saja belum pernah ada vonis hukuman mati dari pengadilan. Mayoritas masyarakat Indonesia juga menilai bahwa hukuman mati merupakan cara yang tepat untuk menekan tingginya kasus kejahatan korupsi. Namun, sebelum menerapkan hukuman mati bagi para koruptor, negara berkewajiban melakukan pembenahan sistem hukum nasional. Dalam sejarah, hukuman mati juga banyak diterapkan terhadap tindak kejahatan yang bermacam-macam, termasuk kasus korupsi.

Wawan Kuswandi: Apakah hukuman mati akan segera diterapkan tahun 2020?

Jokowi: Kalau masyarakat berkehendak seperti itu, kenapa tidak! Tapi tentu kita harus mempertimbangkan berbagai aspek hukum, kemanusiaan dan Undang-Undang sebelum memutuskan hukuman mati bagi koruptor, termasuk persetujuan dari pihak legislatif. Dari beberapa literasi yang saya baca, sejumlah pakar hukum Internasional menilai penerapan hukuman mati dapat menghemat biaya pengeluaran negara daripada memenjarakan koruptor seumur hidup. Contoh lainnya yang lebih ekstrim dan pernah terjadi yaitu di penjara Sukamiskin Bandung, para koruptor malah menjadi raja dan hidup mewah di dalam terali besi. Apakah ini yang kita mau? Kini saatnya hukuman mati bagi para koruptor!

LIHAT JUGA:

Indocomm.blogspot.co.id

www.facebook.com/INDONESIAComment/

plus.google.com/+INDONESIAComment

@INDONESIAComment

@INDONESIACommentofficial

@wawanku86931157

ICTV Televisi Inspirasi Indonesia

THE WAWAN KUSWANDI FORUM

#INDONESIAComment

Foto: Ist

Monday, May 4, 2020

Darurat Korupsi, Saatnya Koruptor Dihukum Mati!

Perilaku korup sejumlah pejabat negara dan politisi sungguh sudah sangat mengkhawatirkan. Korupsi semakin membudaya dan menjadi gaya hidup. Bahkan ?Tren? Berbuat korup bagi sebagian masyarakat terus berlangsung secara massif. Korup bisa dilakukan secara pribadi maupun berjamaah. Target atau sasaran uang yang akan ?Dirampok? Juga bukan hanya menyasar uang negara, tetapi juga sektor korporasi (swasta).

Kini, Indonesia berada dalam situasi darurat korupsi super kronis yang mungkin sulit untuk disembuhkan dengan cara apapun. Harapan munculnya efek jera dengan hukuman penjara tidak berarti sama sekali. Jalan satu-satunya yang mungkin bisa berhasil menghilangkan perilaku korup adalah hukuman mati.

Kasus Korupsi Fantastis

Sejumlah kasus korupsi yang menghebohkan publik diantaranya skandal asuransi plat merah Jiwasraya (persero). Jiwasraya mengalami gagal bayar polis kepada nasabah terkait investasi Saving Plan sebesar Rp12,four triliun. Negara merugi sekitar Rp13,7 triliun. Akibat kasus ini, Kejaksaan Agung menetapkan lima tersangka yaitu Direktur Utama PT Hanson International Tbk Benny Tjokrosaputro, mantan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya Harry Prasetyo, Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Tbk Heru Hidayat, mantan Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya Hendrisman Rahim dan pensiunan PT Asuransi Jiwasraya Syahmirwan.

Kasus lain yang masih dalam proses pengusutan yaitu dugaan korupsi di Asabri. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan ada indikasi korupsi di Asabri. Kerugian negara diduga mencapai Rp10 triliun. Kasus lama yang masih mengambang ialah korupsi di Bank Century. Negara menderita kerugian sebesar Rp7 triliun. Kasus ini hanya mampu mencokok Budi Mulya yang sudah divonis 15 tahun penjara.

Korupsi ditubuh Pelindo II juga luar biasa. Empat proyek PT Pelindo II menyebabkan kerugian negara mencapai Rp6 triliun. Kasus korupsi ini ditangani Bareskrim Polri dan KPK. Kasus ini menyeret mantan Dirut PT Pelindo RJ Lino yang ditetapkan sebagai tersangka sejak 2015 lalu.

Kejahatan korupsi yang paling mengejutkan publik ialah kasus korupsi E-KTP. Berdasarkan perhitungan BPK, negara mengalami kerugian sebesar Rp2,3 triliun. Ketua DPR RI Setya Novanto dan Irman Gusman terlibat. Korupsi di proyek wisma atlet Hambalang tak kalah fantastisnya. Negara mengalami kerugian sebesar Rp706 miliar. Beberapa nama terseret dalam kasus ini yaitu mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, mantan Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, mantan Kemenpora Andi Mallarangeng, dan Angelina Sondakh.

Hukuman Mati

Berbicara soal kasus korupsi di Indonesia, tak akan pernah habis. Jadi, kalau Presiden Jokowi ingin menerapkan hukuman mati bagi koruptor, tentu saja rakyat wajib mendukung penuh. Namun, apa yang akan dilakukan Jokowi ini tidak mudah karena akan menghadapi tantangan dari sejumlah pejabat dan politisi senayan.

Mengapa para pejabat negara dan politisi semakin berani melakukan korupsi? Pertanyaan ini layak menjadi bahan renungan. Seabrek sanksi hukum untuk para koruptor sudah diterapkan. Tapi, faktanya korupsi semakin menggila. Sanksi hukum tidak mampu membuat jera koruptor.

Tak beda jauh dengan kejahatan narkoba yang bisa merusak sel-sel generasi penerus bangsa, kejahatan korupsi pun bisa mengakibatkan kerusakan yang sama. Kejahatan korupsi bisa merusak ethical dan mental manusia Indonesia secara massal. Negara bangkrut karena dirampok bangsa sendiri dengan berbagai dalih kerakyatan dan regulasi.

Di sisi lain, sanksi hukum untuk penjahat narkoba sudah selangkah lebih maju dengan menerapkan hukuman mati. Sedangkan, sanksi hukum untuk para koruptor masih berkutat dengan berbagai embel-embel administrasi, diantaranya menyangkut popularity koruptor sebagai politisi atau pejabat negara. Ujung-ujungnya, bila koruptor ingin ditangkap atau dihukum, harus meminta izin dan persetujuan presiden atau pimpinan lembaga tinggi negara atau pimpinan parpol. Akhirnya, jaringan korupsi antara pejabat negara, politisi dan pihak swasta terus tumbuh dan berkembang secara terselubung.

Solusi Ekstrem

Sesungguhnya, solusi yang ditawarkan Presiden Jokowi untuk menghukum mati koruptor sangat tepat. Solusi ini memang ekstrim. Pelaksanaan hukuman mati di Indonesia memang masih menimbulkan pro dan kontra. Sebenarnya, hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Tingginya tindak pidana korupsi di Indonesia dalam 15 tahun terakhir ini, telah membuktikan bahwa penjara bukanlah tempat efektif untuk menurunkan angka korupsi. Skandal korupsi justru terus mengalami peningkatan di berbagai sektor.

Kejahatan korupsi jelas bersifat luar biasa, maka penanganannya pun harus dengan hukum yang ekstra luar biasa. Dalam UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, terdapat dimensi hukuman mati. Hukuman mati juga terdapat dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mayoritas masyarakat Indonesia juga menilai bahwa hukuman mati merupakan cara yang tepat untuk menekan tingginya kasus kejahatan korupsi.

Selain menerapkan hukuman mati bagi para koruptor, negara juga berkewajiban untuk melakukan pembenahan sistem hukum nasional. Dalam sejarah, hukuman mati juga banyak diterapkan terhadap tindak kejahatan yang bermacam-macam, termasuk kasus korupsi. Di abad 18 SM, Raja Hammurabi dari Babilonia membuat perintah hukuman mati untuk 25 jenis tindakan kriminal.

Sejumlah pakar hukum Internasional menilai, penerapan hukuman mati dapat menghemat biaya pengeluaran negara daripada memenjarakan koruptor seumur hidup. Kapan hukuman mati bagi koruptor ini akan dilaksanakan? Hanya Presiden Jokowi yang tahu.

LIHAT JUGA:

Indocomm.Blogspot.Co.Identification

www.Facebook.Com/INDONESIAComment/

plus.Google.Com/ INDONESIAComment

@wawanku86931157

#indonesiacommentofficial

ICTV Televisi Inspirasi Indonesia

THE WAWAN KUSWANDI FORUM

THE WAWAN KUSWANDI INSTITUTE

#INDONESIAComment

Foto: Ist