PT Pertamina Persero secara resmi telah memiliki Komisaris Utama baru. Melalui rapat umum pemegang saham luar biasa atau RUPSLB, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menempati jabatan bergengsi itu.
Sebelumnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara atau BUMN Erick Thohir menjelang akhir pekan lalu mengumumkan kepastian Ahok masuk perusahaan minyak negara. “Insya Allah sudah putus dari beliau, Pak Basuki (Ahok) akan jadi Komisaris Utama Pertamina," katanya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jumat pekan lalu, seperti diberitakan Tempo.co (25/11/2019). Apa yang akan dilakukan Ahok di Pertamina? Berikut ini dialog imajiner Wawan Kuswandi dari Indocomm.blogspot.com dengan Ahok di kafe kawasan sekitar Monas, Jakarta pusat, Senin sore (25/11/2019).
Wawan Kuswandi: Pak Ahok bagaimana perasaan Anda setelah dipercaya untuk menjabat Komisaris Utama PT Pertamina oleh Menteri BUMN Erick Thohir?
Ahok: Saya sangat bersyukur, negara melalui pak Erick Thohir masih percaya dan memberi kesempatan kepada saya untuk mengabdi kepada negara. Tentu ini merupakan tanggung jawab besar yang harus saya jalankan sesuai amanat pak Menteri BUMN dan UU yang terkait dengan sumber daya energi, khususnya minyak bumi.
Wawan Kuswandi: Ketika nama Anda muncul dalam bursa calon pejabat elite di Pertamina banyak yang protes, khususnya dari serikat kerja Pertamina. Bahkan, ada sejumlah oknum politisi yang menilai Anda tidak punya kapasitas dan kapabilitas. Apa komentar Anda?
Ahok: Anda tanya saja ke pak Erick kenapa memilih saya di Pertamina. Kalau soal banyak yang protes dan menentang saya, itu saya anggap biasa saja. Saya ngak mau mikirin dan itu bukan urusan saya. Setahu saya, pemilihan RT aja ada kok yang protes. Nah, kalau soal kapasitas dan kapabilitas cara mengukurnya tentu dari kinerja saya dan itu baru terlihat setelah saya bekerja, apakah Pertamina akan semakin maju atau semakin mundur. Itu butuh proses dan waktu yang relatif panjang. Orang menilai boleh saja, tapi hendaknya hindari menyimpulkan terlalu cepat. Kita lihat saja nanti yaa...
Wawan Kuswandi: Sudah menjadi rahasia umum bahwa di Pertamina ada mafia migas dan konon kabarnya posisi mereka sangat kuat, apakah pak Ahok berani melawan mafia migas di Pertamina?
Ahok: Saya belum tahu pasti, apa benar di Pertamina itu ada mafianya. Kalau memang ada dan mafia itu merugikan Pertamina, yaa… saya mau tidak mau harus menghadapinya, tentu harus sesuai dengan UU yang berlaku dan berdasarkan arahan dari pak Erick. Memperbaiki kinerja Pertamina merupakan tanggung jawab yang melekat dalam jabatan saya. Kalau soal berani atau tidak, setiap pejabat negara terikat sumpah jabatan untuk melindungi perusahaan negara. Jadi, sudah menjadi kewajiban saya menjaga Pertamina dan bersih-bersih kalau memang di Pertamina ada mafianya. Jabatan Ini merupakan kesempatan bagi saya untuk melanjutkan pengabdian saya kepada bangsa dan negara ini. Tolong doakan saya yaa…
Wawan Kuswandi: Apakah gaya kepemimpinan yang akan Anda terapkan sama seperti ketika Anda menjabat sebagai Gubernur Jakarta, atau apakah ada strategi khusus yang akan Anda terapkan dalam melaksanakan fungsi dan tugas Anda sebagai Komisaris Utama?
Ahok: Memimpin Jakarta dan BUMN jelas berbeda. Kalau memimpin Jakarta tentu saya harus sangat keras dalam mengawasi aparat Pemprov DKI dalam melayani dan menangani berbagai persoalan sosial, ekonomi, budaya, agama, teknologi dan masalah kemanusiaan lainnya seperti kemiskinan, kesejahteraan, hukum, keadilan, kriminalitas dan banyak lagi problem lain yang terjadi di Jakarta. Tapi kalau di BUMN Pertamina, tentu saya akan lebih banyak mengawasi kinerja BUMN agar perusahaan minyak milik negara ini lebih baik dan maju lagi. Soal strategi apa yang akan saya lakukan, pertama saya harus beradaptasi dulu dengan sistem dan lingkungan kerja Pertamina. Nah kalau dalam sistem dan lingkungan kerja di Pertamina ada masalah, baru saya cari solusinya. Jadi, solusi itu tergantung dari permasalahan yang ada. Tunggu saja yaa…dukung kalau saya benar dan kritik keras kalau saya ngawur di Pertamina, itu saja. Semoga saya bisa menjalankan amanah ini dengan baik dan benar.
Dialog imanijer saya berakhir. Terima kasih pak Ahok atas obrolan santainya sore ini. Selamat berjuang pak….
Keputusan Presiden Jokowi menunjuk Erick Thohir sebagai Menteri BUMN sangat tepat dan benar. Buktinya, belum genap tiga bulan menjabat, Erick sudah membantai oknum yang diduga kuat sebagai gerombolan ‘penyamun’ di maskapai Penerbangan plat merah Garuda Indonesia.
Sebelumnya Erick sudah mengobrak-abrik dugaan adanya 'sarang penyamun' di Pertamina dengan menembakkan ‘peluru tajam’ mematikan yaitu memilih Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sebagai Komisaris Utama Pertamina. Bung Erick, Anda sungguh bernyali besar bro…
Lantas, bagaimana dengan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, mampukah mereka menyamai ‘nyali’ Erick Thohir. Rakyat masih menunggu keberanian dan nyali besar Tito dan Prabowo untuk memberangus kelompok radikalisme dan ormas FPI.
Melawan Penyamun
Dugaan adanya gerombolan penyamun di sejumlah perusahaan BUMN, memang sudah muncul sejak era Soeharto. Tak ada satupun menteri sebelum era Jokowi yang berani bertindak keras dan tegas. Sekaranglah saatnya negara melawan gerombolan penyamun tanpa ampun.
Akhirnya, Erick Thohir memecat seluruh direksi PT Garuda Indonesia, baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung terkait penyelundupan sepeda motor Harley Davidson dan sepede Brompton dalam pesawat airbus A330-900 Neo.
"Pada hari ini tanggal 7 Desember telah dilaksanakan pertemuan antara Menteri BUMN dengan Dewan Komisaris PT Garuda Indonesia dan menyepakati, pertama memberhentikan sementara waktu semua anggota direksi yang terindikasi terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam kasus dugaan penyelundupan Harley dan Brompton dalam penerbangan seri flight GA 9721 tipe Airbus A330-900 Neo yang datang dari pabrik Airbus di Prancis pada tanggal 17 November 2019 di Soekarno Hatta, Cengkareng sesuai dengan ketentuan yang berlaku," kata Komisaris Utama Sahala Lumban Gaol usai rapat di Kementerian BUMN, Jakarta Pusat, Sabtu (7/12/2019).
Seperti diketahui, dari 142 perusahaan BUMN, hanya 15 perusahaan (diantaranya sektor telekomunikasi, perbankan, minyak dan gas) yang menyetor profitnya ke negara sebesar 75 persen. Selebihnya menguap, diduga dipreteli gerombolan penyamun di BUMN.
Di sisi lain, Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Bisnis Kementerian BUMN Aloysius Kiik Ro, disela rapat bersama Komisi VI DPR, Senin (3/12/2019) menuturkan, jumlah utang sejumlah perusahaan plat merah meningkat dari Rp2.263 triliun pada 2016 menjadi sekitar Rp5.271 triliun per September 2018. Meskipun demikian, data utang per September 2018 itu masih belum diaudit.
Utang BUMN dari sektor non keuangan sebesar Rp1.960 triliun. Kontribusi utang terbesar sekitar 27,7 persen disumbang perusahaan sektor kelistrikan Rp543 triliun. Utang lain dihimpun perusahaan sektor minyak dan gas (migas) mencapai Rp522 triliun. Sisanya oleh perusahaan sektor infrastruktur, termasuk konstruksi dan properti mencapai Rp317 triliun. Lalu, sektor telekomunikasi Rp99 triliun, transportasi Rp75 triliun dan gabungan berbagai sektor lain Rp403 triliun.
Kalau dilihat dari banyaknya perusahaan BUMN, seharusnya negara sudah bisa membiayai semua kebutuhan publik secara menyeluruh, terutama di sektor kesehatan maupun pendidikan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi nasional juga semestinya meningkat. Perusahaan BUMN menjadi lokomotif utama dalam mendanai pembangunan nasional sekaligus sebagai penggerak ekonomi terbesar negara.
Namun sayangnya, keuntungan BUMN tidak mengalir ke kas negara secara penuh karena diduga kuat dicuri gerombolan penyamun yang bercokol di sejumlah BUMN. Sudah selayaknya Erick Thohir terus melakukan penyisiran dan bersih-bersih terhadap para direksi di 142 perusahaan BUMN.
Nyali Tito dan Prabowo
Selain skandal BUMN, rakyat juga sudah sangat antipati terhadap keberadaan FPI. Tapi, negara dalam hal ini Mendagri Tito Karnavian dan Menhan Prabowo Subianto masih diam dan terkesan tidak berani membubarkan FPI. Ternyata, nyali Tito dan Prabowo tak sebesar Erick Thohir di BUMN. Padahal, bahaya radikalisme dan kelompok pengusung khilafah sudah sangat mengancam ideologi Pancasila dan NKRI.
Buktinya, staf khusus Kepala BIN Arief Tugiman pernah menyatakan bahwa ada 500 masjid di seluruh Indonesia terpapar paham radikalisme. Sebanyak 41 dari 500 masjid itu berada di kompleks kantor pemerintahan alias BUMN dan kantor-kantor kementerian. Sebagian besar Aparatur Sipil Negara (ASN) terkontaminasi paham radikalisme. "Berdasarkan level radikalisme dari 41 masjid itu, 7 masjid kategori rendah, 17 masjid kategori sedang dan 17 masjid kategori tinggi," ucap Tugiman.
Pihak Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) juga menyebut ada 19 nama organisasi massa (ormas) di Indonesia yang tergolong radikal. Hal itu diungkapkan Kepala Satkorwil Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Jawa Timur Dr H. Umar Usman.
Umar mengatakan, ke 19 organisasi itu antara lain Jamaah Islamiyah, Tauhid Wal Jihad, NII, Majelis Mujahidin Indonesia Timur, Mujahidin Indonesia Barat, Ring Banten, Jamaah Ansharut Tauhid, Jamaah Al-Tawhid wal-Jihad, Pendukung dan Pembela Daulah Islamiah, Jamaah Anshauri Daulah, Ma'had Ansharullah, Laskar Dinullah, Gerakan Tauhid Lamongan, Halawi Makmun Grup, Ansharul Khilafah Jawa Timur, IS Aceh, Ikhwan Muahid Indonesia fil Jazirah al-Muluk, Khilafatul Muslimin, dan Al Muhajirin (sempalan HTI).
Jadi kesimpulanya, kapan Tito Karnavian dan Prabowo Subianto berani membuktikan nyalinya kepada rakyat Indonesia untuk membubarkan FPI dan ormas radikal lainnya. Mungkinkah mereka berdua bernyali besar? Bravo buat bung Erick Thohir...
Skandal mega korupsi di perusahaan asuransi pelat merah Jiwasraya dibongkar habis Menteri BUMN Erick Thohir. Sejumlah pihak yang diduga kuat terlibat, terus dikejar pihak aparat hukum. KPK telah menetapkan lima tersangka yaitu Direktur Utama PT Hanson Internasional Tbk (MYRX) Benny Tjokrosaputro atau Benny Tjokro, eks Direktur Utama Jiwasraya Hendrisman Rahim, eks Direktur Keuangan Jiwasraya Hary Prasetyo, Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) Heru Hidayat, Eks Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya Syahmirwan.
Dibalik hebohnya skandal ?Perampokan? Dana nasabah Jiwasraya ini, tiba-tiba saja Ketua Umum Parpol Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) panik, benarkah?
Kepanikan ayah AHY ini nampak dalam tulisan di Facebook pribadinya. Dalam tulisan panjang di Facebooknya, Senin (27/1/2020), SBY mengungkapkan informasi tentang rencana penjatuhan dua menteri Presiden Joko Widodo (Jokowi) through Pansus Jiwasraya. SBY juga menceritakan soal kasus Pansus Century.
Berikut tulisan SBY dalam laman FB pribadinya tentang Jiwasraya:
PENYELESAIAN KASUS JIWASRAYA AKAN SELAMATKAN NEGARA DARI KRISIS YANG LEBIH BESAR
Sewaktu saya mendengar ada kasus keuangan yang menimpa PT. Asuransi Jiwasraya, salah satu BUMN kita, saya tak berkomentar apapun. Pikir saya, bisa saja sebuah korporat, termasuk Jiwasraya, mengalami masalah demikian. Pasang surut keadaan keuangan perusahaan, sehat-tidak sehat, boleh dikata lumrah. Namun, ketika dalam perkembangannya saya ketahui angka kerugiannya mencapai 13 triliun rupiah lebih, saya mulai tertarik untuk mengikutinya. Ini cukup serius.
Ketika Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan bahwa permasalahan Jiwasraya sudah terjadi sejak 10 tahun lalu, sayapun tak merasa terusik. Tesis saya, untung rugi dalam dunia bisnis bisa saja terjadi. Kalau mengetahui kondisi keuangannya tak sehat, korporat tentu segera melakukan langkah-langkah perbaikan. Bahkan ketika beberapa saat kemudian, Kementerian BUMN secara eksplisit mengatakan bahwa masalah Jiwasraya bermula di tahun 2006, saya juga tak merasa terganggu. Apalagi, di tahun 2006 dulu saya tak pernah dilapori bahwa terjadi krisis keuangan yang serius di PT. Jiwasraya.
Namun, ketika mulai dibangun opini, dan makin kencang, bahwa seolah tidak ada kesalahan pada masa pemerintahan sekarang ini, dan yang salah adalah pemerintahan SBY, saya mulai bertanya... Apa yang terjadi? Kenapa isunya dibelokkan? Kenapa dengan cepat dan mudah menyalahkan pemerintahan saya lagi? Padahal, saya tahu bahwa krisis besar, atau jebolnya keuangan Jiwasraya ini terjadi 3 tahun terakhir. Karenanya, dihadapan staf dan beberapa tamu saya di rumah yang merasa tidak terima jika lagi-lagi saya yang disalahkan, saya sampaikan komentar ringan saya. Intinya, kalau memang tak satupun di negeri ini yang merasa bersalah dan tak ada pula yang mau bertanggung jawab, ya salahkan saja masa lampau.
Saat ini, krisis keuangan Jiwasraya ini telah menjadi pembicaraan dan perhatian rakyat Indonesia. Kegaduhan politik terjadi. Termasuk di kalangan parlemen, wakil rakyat. Rumor dan desas desus mulai berkembang. Menyasar ke sana ke mari. Fakta dan opini bercampur aduk. Terkadang tak mudah membedakan mana berita yang benar, dan mana yang "hoax" dan fitnah. Karena itu, seperti biasanya, saya tak mau ikut-ikutan berkata sembarangan. Main tuduh dan memvonis seseorang atau pihak-pihak tertentu sebagai bersalah bukanlah karakter saya. Di samping itu, saya juga percaya bahwa pada saatnya kebenaran dan keadilan akan datang. Datangnya mungkin lambat, tapi pasti.
Ada yang dibidik dan hendak dijatuhkan?
Awal Januari 2020, isu Jiwasraya makin ramai dibicarakan. Ditambah dengan isu Asabri. Bisik-bisik, sejumlah lembaga asuransi dan BUMN lain, konon juga memiliki permasalahan keuangan yang serius.
Di kalangan DPR RI mulai dibicarakan desakan untuk membentuk Pansus. Tujuannya agar kasus besar Jiwasraya bisa diselidiki dan diselesaikan secara tuntas. Bahkan, menurut sejumlah anggota DPR RI dari Partai Demokrat, yang menggebu-gebu untuk membentuk Pansus juga dari kalangan partai-partai koalisi. Tentu ini menarik. Meskipun belakangan kita ketahui bahwa koalisi pendukung pemerintah lebih memilih Panja. Bukan Pansus.
Ketika saya gali lebih lanjut mengapa ada pihak yang semula ingin ada Pansus, saya lebih terperanjat lagi. Alasannya sungguh membuat saya "geleng kepala". Katanya... Untuk menjatuhkan sejumlah tokoh. Ada yang "dibidik dan harus jatuh" dalam kasus Jiwasraya ini. Menteri BUMN yang lama, Rini Sumarno harus kena. Menteri yang sekarang Erick Thohir harus diganti. Menteri Keuangan Sri Mulyani harus bertanggung jawab. Presiden Jokowi juga harus dikaitkan.
Mendengar berita seperti ini, meskipun belum tentu benar dan akurat, saya harus punya sikap. Sikap saya adalah tak baik dan salah kalau belum-belum sudah main "goal-targetan".
Kepada para kader Demokrat yang menjadi anggota DPR RI dengan tegas saya larang untuk ikut-ikutan berpikir yang tidak benar itu. Punya niat dan motif seperti itu. Itu salah besar. Nama-nama yang sering disebut di arena publik, dan seolah pasti terlibat dan bersalah, belum tentu bersalah. Termasuk tiga nama tadi. Secara pribadi saya mengenal Ibu Sri Mulyani, Ibu Rini dan Pak Erick sebagai sosok yang kompeten dan mau bekerja keras. Kalau tingkat presiden, sangat mungkin Pak Jokowi juga tidak mengetahui jika ada penyimpangan besar di tubuh Jiwasraya itu. Prinsipnya, jangan memvonis siapapun sebagai bersalah, sebelum secara hukum memang terbukti bersalah.
Saya jadi teringat akan peristiwa politik yang terjadi sepuluh tahun yang lalu. Pasca Pemilu 2009, dunia politik digaduhkan oleh isu "bail-out" Bank Century. Berbulan-bulan politik kita tidak stabil. Namun, apa yang ingin saya katakan? Sama seperti sekarang ini, nampaknya ada yang dibidik dan hendak dijatuhkan. Saya sangat tahu bahwa yang harus jatuh adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan juga mantan Gubernur BI, Wakil Presiden Boediono. Jika bisa, SBY juga diseret dan dilengserkan. Memang cukup seram.
Rumor dan berita yang dibangun juga tak kalah seramnya. Diisukan jumlah dana 6,7 triliun dalam penyelamatan Bank Century semuanya mengalir ke Tim Sukses SBY dalam Pilpres 2009. Termasuk para petinggi Partai Demokrat. Dengan gegap gempita karenanya Pansus dibentuk, hak angket digunakan oleh DPR RI.
Namun saya tetap tenang. Saya juga tak takut dengan dibentuknya Pansus. Bahkan tak pernah menghalanginya. Padahal koalisi pendukung pemerintah cukup kuat waktu itu. Jumlah anggota DPR RI dari Partai Demokrat juga sangat besar, 148 orang. Mengapa saya tak takut dengan Pansus Bank Century?
Saya memegang fakta dan kebenaran mengapa dilakukan "bail-out" pada Bank Century. Ada alasan yang sangat kuat mengapa para otoritas keuangan mengambil keputusan yang berani tetapi berisiko tinggi. Dengan "judgement" mereka, yang memiliki kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, pilihan dan keputusan harus diambil. Sejarah menunjukkan bahwa setelah itu Indonesia selamat dari krisis. Pertumbuhan ekonomi kita hanya sempat turun satu tahun, dari 6% di tahun 2008, menjadi 4,6% di tahun 2009. Namun, tahun depannya (2010) naik lagi ke angka 6,2%, dan bahkan tahun 2011 menjadi 6,5%. Oleh dunia, Indonesia dinilai berhasil meminimalkan dampak krisis global tahun 2008 dulu. Jadi ada alasan yang sah. "Bail-out" Bank Century adalah solusi. Kalau kita kaitkan dengan jebolnya keuangan Jiwasraya sebesar thirteen,7 triliun rupiah saat ini, adakah alasan yang dapat diterima akal sehat mengapa itu terjadi? Inilah yang ingin diketahui oleh rakyat kita.
Saya juga sangat yakin bahwa dulu baik Menkeu Sri Mulyani dan Gubernur BI Boediono tak punya niat buruk. Tujuannya adalah agar ekonomi Indonesia selamat dari krisis. Itu juga yang saya lakukan dan ikhtiarkan siang dan malam sebagai Presiden. Alhamdulillah, ekonomi kita selamat. Tidak jatuh seperti di tahun 1998 dulu. Saya yakin pula kedua pejabat itu (SMI & Boediono) tak melakukan korupsi. Meskipun untuk "bail-out" Bank Century itu tak perlu meminta ijin saya sebagai Presiden, tetapi keduanya diberikan wewenang oleh undang-undang untuk mengambil keputusan. Jadi, yang mereka lakukan sah dan kuat secara hukum.
Perihal tuduhan ada aliran dana yang besar ke Tim Sukses SBY saya justru mendorong dilakukannya audit oleh BPK. Silahkan dicek apakah memang ada aliran dana ke situ. Terhadap pihak yang melemparkan fitnah kepada sejumlah nama, yang dituduh menerima dana Bank Century, juga saya dorong untuk diselesaikan di mahkamah pengadilan. Saya berani "menantang" siapapun yang memfitnah. Ini penting agar secara terbuka dapat diketahui siapa yang salah dan siapa yang benar. KPK saya tahu juga sudah bekerja. Hasilnya, memang tak ada aliran dana apapun ke Tim Sukses SBY dan Partai Demokrat. Tak ada pula aliran dana Bank Century ke kantong saya. Itu haram. Saya ingin, baik melalui Pansus maupun jalur hukum semua proses dibuka, dan rakyat bisa mengikutinya. Kalau tidak, mungkin sampai sekarang masih ada yang menyangka ada korupsi dan aliran dana Bank Century ke tangan-tangan pihak yang berkuasa, termasuk ke jajaran Partai Demokrat.
Kita ingin Indonesia menjalankan politik yang berkeadaban. Jangan suka main tuduh, main fitnah dan "character assassination". Selama 10 tahun saya mengemban amanah dulu, tak pernah henti saya menerima tuduhan, fitnah dan juga pembunuhan karakter. Sebagai manusia saya, dan juga almarhumah Ani Yudhoyono, sangat merasakan betapa menderita dan tidak adilnya perlakuan sebagian kalangan itu. Karenanya, saya menyeru janganlah cara-cara buruk itu terus kita jalankan di negeri ini. Tak perlu presiden-presiden setelah saya harus mengalami nasib yang sama.
Pintu gerbang untuk mencegah krisis keuangan yang lebih besar
Opini dan persepsi yang berkembang di masyarakat saat ini adalah pemerintah dituduh ingin menutupi dan melokalisasi kasus besar Jiwasraya ini. Mengapa ditutup-tutupi, kata mereka, karena pemerintah ingin mengamankan, melindungi dan menyelamatkan pihak-pihak tertentu. Gagasan untuk membentuk Pansus di DPR RI nampaknya juga mengalami hambatan dan bahkan seolah "ditutup" jalannya. Padahal, banyak pihak meyakini bahwa dengan digunakannya hak angket oleh DPR RI, penyelidikan dapat dilakukan secara menyeluruh kepada siapapun. Kepada pihak manapun yang punya kaitan dengan krisis keuangan di Jiwasraya. Bahkan terhadap yang melakukan penyimpangan di BUMN-BUMN yang lain.
Tentu saja persepsi publik seperti itu belum tentu benar. Bisa salah. Saya tidak tahu mengapa masyarakat (meskipun tidak semua) punya persepsi seperti itu. Saya juga tidak tahu apakah itu sebuah "halusinasi", atau mereka merasa memiliki informasi yang sahih.
Tetapi, di sisi lain mungkin pula pemerintah punya alasan mengapa "tidak setuju" atas dibentuknya Pansus untuk menyelidiki mega skandal yang terjadi di Jiwasraya. Namun, perlu diingat, sebenarnya Pansus atau bukan Pansus itu sepenuhnya merupakan hak dan kewenangan DPR RI. Kewenangan lembaga legislatif. Bukan kewenangan pemerintah sebagai lembaga eksekutif. Begitu bunyi konstitusi kita (UUD 1945). Saya kira semua juga setuju bahwa era di mana parlemen (DPR) hanya mengikuti kemauan pemerintah seperti di era otoritarian dulu sudah berakhir.
Dengan terjadinya krisis besar di Jiwasraya ini, ditambah informasi yang dapat dipercaya bahwa sejumlah BUMN yang lain juga mengalami permasalahan yang relatif serius, Asabri misalnya, saatnya negara melakukan koreksi besar. Melakukan perbaikan total. Atau bahkan bersih-bersih. Bisa saja kasus Jiwasraya ini ibarat sebuah "puncak dari gunung es". Nampak kecil di atas permukaan, ternyata besar yang tidak kelihatan. Kalau secara kumulatif kerugian negara mencapai jumlah puluhan triliun, sebenarnya itu sudah tergolong krisis besar. Sangat bisa bersifat sistemik, terstruktur dan masif. Barangkali tidak keliru apa yang dikatakan oleh BPK bahwa krisis keuangan Jiwasraya ini bersifat sistemik dan "gigantic".
Jika setelah dilakukan penyelidikan yang serius dan komprehensif ternyata ditemukan kesamaan "modus" penggelapan uang rakyat, negara tidak boleh menyepelekan kasus-kasus penyimpangan ini. Apalagi jika ternyata otak dan operatornya berasal dari kelompok yang sama. Apalagi pula jika kecerobohan dan penyimpangan itu dilakukan dengan metodologi yang sama.
Bagaimana jika modus investasi di "saham gorengan" ini juga terjadi di lembaga asuransi atau menyangkut dana pensiun di lembaga-lembaga yang lain. Misalnya jika ternyata juga terjadi di Asabri yang katanya potensi kerugiannya mencapai 10 hingga 16 triliun rupiah. Atau juga jika terjadi di PT. Taspen yang diinformasikan memiliki pertumbuhan investasi saham minus 23% dalam dua tahun terakhir. Mudah-mudahan informasi yang sangat mencemaskan ini tidak benar adanya. Artinya apa yang berkembang di masyarakat luas itu tidak benar. Benar atau tidak benar sesungguhnya dapat diketahui jika pemeriksaan dan penyelidikan terhadap kasus-kasus ini dilakukan secara "open, transparant and comprehensive".
Masalah menjadi lebih serius jika ternyata keserampangan dan juga penyimpangan pengelolaan keuangan korporat ini terjadi di BUMN-BUMN lain. Maksudnya, bukan hanya lembaga asuransi dan dana pensiun semata. Ingat aset BUMN secara nasional lebih dari 8.000 triliun rupiah. Jangan sampai negara dan rakyat "kecolongan" bahwa miliknya banyak yang telah "raib". Raib karena ketidak beresan dan penyimpangan yang terjadi di perusahaan-perusahaan itu.
Karenanya, saatnya telah tiba untuk melakukan koreksi dan perbaikan total. Membiarkan penyimpangan seperti ini terjadi, dan terus terjadi, menurut saya adalah sebuah kejahatan. Jika setelah kita lakukan penyelidikan jumlah uang negara yang raib ini tidak sebesar yang diduga banyak kalangan, tetap saja ada manfaatnya. Artinya, negara bisa melakukan pencegahan dan peringatan keras kepada siapapun yang tidak cakap dan lalai dalam mengelola keuangan BUMN. Tapi, jika ternyata jumlah kerugian keuangan negara itu sedemikian besarnya, tindakan yang tegas dan tuntas harus dilakukan. Tindakan demikian akan dapat menyelamatkan Indonesia dari krisis yang lebih besar lagi di masa depan.
Saya yakin, Presiden Jokowi juga ingin penyimpangan-penyimpangan serius ini bisa diungkap semuanya, dan yang bersalah diberikan sanksi yang adil. Pasti Presiden Jokowi tidak ingin ada permasalahan serius terbiarkan dan terus berlangsung, sehingga negeri ini menyimpan banyak "bom waktu". Bom waktu yang setiap saat bisa meledak dan mengakibatkan terjadinya krisis besar. Pasti pula presiden kita ingin mengakhiri masa jabatannya dengan baik dan tidak membiarkan terjadinya skandal-skandal berskala besar yang sangat melukai hati rakyat kita.
7 Arena Penyelidikan dan Penyelesaian Krisis Jiwasraya
Ada pertanyaan kunci yang harus dapat dijawab yaitu apa saja yang harus diselidiki? Hal ini amat penting agar keseluruhan penyimpangan dan kesalahan dalam kedua kasus besar ini dapat diungkap. Perbaikan menyeluruh dalam hal manajemen dan akuntabilitas keuangan BUMN-BUMN di masa depan sulit dilakukan, jika kita sendiri tidak terbuka dan tidak jujur atas berbagai permasalahan fundamental yang ada.
Menurut pendapat saya, paling tidak ada 7 arena investigasi yang harus disentuh atau dimasuki.
Meskipun sudah banyak beredar jumlah kerugian atau uang yang raib di BUMN ini, antara lain dari sumber BPK, namun investigasi harus bisa menentukan jumlah ini secara akurat. Benarkah jumlah kerugian untuk Jiwasraya sebesar 13,7 triliun rupiah? Benar pulakah Asabri juga mengalami kerugian sebesar 10 hingga 16 triliun rupiah?
Arena 2: Mengapa jebol?
Benarkah jebolnya keuangan di BUMN ini karena penempatan (placement) dana investasi perusahaan pada saham-saham yang berkinerja buruk? Penempatan dana perusahaan yang ceroboh dan keliru ini disengaja atau tidak? Apakah memang penempatan dana korporat yang salah ini disengaja karena ada yang ingin mengambil keuntungan secara pribadi?
Arena 3: Siapa yang bikin jebol?
Perlu dilakukan investigasi siapa saja yang menyebabkan jebolnya keuangan BUMN tersebut. Benarkah hanya 5 orang sebagaimana yang diduga oleh kejaksaan agung kita? Adakah aktor intelektual yang bekerja "di belakang"? Hal ini sangat penting agar negara tidak salah mengadili dan menghukum seseorang.
Arena 4: Apakah memang ada uang yang mengalir dan digunakan untuk dana politik (pemilu)?
Investigasi ini penting dilakukan untuk menjawab pertanyaan dan praduga kalangan masyarakat bahwa dalam kasus Jiwasraya ini dicurigai ada yang mengalir ke tim sukses Pemilu 2019 yang lalu. Baik yang mengalir ke partai politik tertentu maupun tim kandidat presiden. Tuduhan ini persis dengan yang saya alami ketika dilakukan "bail-out" Bank Century dulu. Karenanya, untuk membersihkan nama baik partai politik tertentu dan Presiden Jokowi sendiri, penyelidikan tentang hal ini patut dilakukan. Biar gamblang, dan rakyat mendapatkan jawabannya. Saya pribadi tidak yakin kalau Pak Jokowi sempat berpikir agar tim suksesnya mendapatkan keuntungan dari penyimpangan yang terjadi di Jiwasraya tersebut.
Arena 5: Berapa uang rakyat yang mesti dijamin & dikembalikan?
Salah satu penyelesaian krisis keuangan Jiwasraya adalah agar rakyat atau peserta asuransi di korporat tersebut tidak dirugikan. Mereka tidak bersalah. Uangnya harus dijamin dan dikembalikan pada saatnya. Apalagi "korban" Jiwasraya juga berasal dari negara lain (Korea Selatan) sebanyak 474 nasabah dengan nilai 574 miliar rupiah. Kalau tidak ada jaminan yang pasti, dikhawatirkan akan mengurangi kepercayaan para nasabah asuransi di Indonesia secara keseluruhan. Juga akan merusak kepercayaan pasar, baik domestik mupun internasional, terhadap sistem dan pengelolaan keuangan di negeri kita.
Arena 6: Adakah kaitan dan persamaan modus kejahatan kasus Jiwasraya dan kasus-kasus lain?
Pengungkapan di arena ini sangat penting. Baik investigasi parlemen maupun hasil kerja lembaga audit dan penegak hukum harus mampu mengungkapnya. Apakah memang ada kaitan dan kesamaan modus kejahatan yang terjadi di Jiwasraya dengan BUMN-BUMN yang lain jika kelak ditemukan? Kalau memang tidak ada atau tidak ditemukan, kita bisa menghela nafas dengan lega. Alhamdulillah. Namun kalau ada, krisis ini menjadi sangat serius. Mengapa? Sangat mungkin keseluruhan penyimpangan ini merupakan kejahatan yang terorganisasi (organized crime) dengan para "arsitek" yang bekerja di belakangnya. Kalau mimpi buruk ini adalah kenyataannya, memang negara harus melakukan "bersih-bersih" secara total.
Arena 7: Bagaimana solusi & penyelesaiannya ke depan?
Solusi ke depan harus dilakukan secara menyeluruh. Yang perlu diperbaiki bisa menyangkut pemberian sanksi hukum kepada para pelakunya; penyehatan kembali keuangan korporat; serta pemberian jaminan dan pengembalian uang milik nasabah. Ke depan harus ditingkatkan kepatuhan kepada undang-undang, sistem dan aturan; "judgement" jajaran manajemen yang jauh lebih baik; serta pengawasan yang lebih seksama dari otoritas jasa keuangan, parlemen dan pemerintah terhadap jajaran BUMN.
Khusus pemberian jaminan dan pengembalian uang nasabah (rakyat), saya menyarankan agar segera dibentuk Lembaga Penjamin Polis melalui sebuah undang-undang, agar didapat kepastian hukum untuk itu. Pemerintah memang terlambat menjalankan kewajibannya untuk membentuk Lembaga Penjamin Polis tersebut. Kalau Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 yang saya tanda- tangani pada bulan Oktober 2014 dulu diindahkan dan dilaksanakan, maka paling lambat bulan Oktober 2017 kita sudah punya Lembaga Penjamin Polis. Namun, dalam suasana seperti sekarang ini tak perlulah pemerintah harus disalahkan secara berlebihan. Tak baik mengambil keuntungan politik ketika orang lain sedang susah. Tak ada pahalanya. Yang penting, pemerintah segera menerbitkan undang-undang dan membentuk Lembaga Penjamin Polis tersebut. Yang paling penting, uang yang raib yang jumlahnya sangat besar itu, termasuk potensi untuk kehilangan yang lebih besar lagi, harus diatasi. Harus ditutup lubangnya. Harus bisa disehatkan kembali kondisinya. Solusinya... ya pilih cara yang paling masuk akal, kredibel dan benar-benar menyelesaikan masalah. Bukan hanya untuk meredakan kegaduhan politik saat ini.
Namun, rakyat perlu pula memberi kesempatan kepada korporat dan pemerintah untuk menentukan kebijakan, strategi dan bentuk penyehatan kedua BUMN tersebut. Jangan apriori terlebih dahulu. Sangat mungkin pemerintah memiliki solusi yang "cespleng". Kitapun juga bisa memberikan pandangan dan saran kepada pemerintah, jika pemerintah membuka diri untuk itu.
Yang penting apa yang hendak dilakukan pemerintah itu "sensible, doable, achievable and fundable". Artinya masuk akal, bisa dilakukan, bisa mencapai sasaran dan bisa mendapatkan pendanaan. Ide untuk membentuk sebuah "holding company" dalam usaha asuransi dan dana pensiun tidak keliru. Yang penting, pastikan bahwa "net" keuangannya positif. Jangan karena sangat dipaksakan, malah semua BUMN menjadi tidak sehat keuangannya. Jika untuk menutup dan menyediakan dana yang dibutuhkan akan dicarikan dari investor, pastikan investor itu juga "kredibel" dan memang ada. Ingat, jebolnya Jiwasraya antara lain karena pertimbangannya serampangan (poor judgement). Jangan sampai penyelesaian krisis Jiwasraya ini tidak didasari oleh pertimbangan yang matang dan kuat. Jika DPR RI melakukan investigasi, perlu pula menguji dan mendalami apakah solusi yang hendak dijalankan oleh korporat dan pemerintah tersebut benar-benar kredibel.
Dewan Perwakilan Rakyat bisa menggunakan hak konstitusionalnya untuk melakukan investigasi (penyelidikan)
Nafas dan jiwa dari konstitusi kita adalah adanya prinsip "checks and balances" di antara lembaga-lembaga negara yang utama. Di antaranya, adalah antara lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tujuannya, agar tidak ada kekuasaan yang absolut tanpa dicheck atau diawasi oleh kekuasaan yang lain. Power must not go unchecked. Dalam kaitan krisis keuangan yang terjadi di Jiwasraya, yang berada dalam jajaran pemerintahan (eksekutif), maka sesuai dengan konstitusi dan nilai-nilai demokrasi yang kita anut, DPR RI wajib melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Implementasinya, DPR RI bisa menggunakan haknya untuk mengetahui tentang apa, mengapa dan bagaimana penyimpangan di BUMN itu terjadi.
Mengingat besarnya angka kerugian negara serta kompleksitas dan keterkaitan antar lembaga yang terkait, maka agar lebih efektif hasilnya, DPR RI bisa menggunakan hak konstitusional yang dimilikinya. Dalam kaitan ini, saya berpendapat DPR RI lebih tepat menggunakan hak angket agar penyelidikan dapat dilaksanakan secara menyeluruh. Jika ingin kasus besar ini dapat diungkap secara gamblang, seraya membuktikan bahwa tidak ada keterlibatan elemen pemerintah dalam penyimpangan yang mengakibatkan kerugian negara belasan triliun rupiah itu, inilah kesempatannya. Karenanya, negara dan Presiden harus membuka diri dan mendukung dibentuknya Pansus dan penggunaan hak angket DPR RI, agar tuduhan miring yang dialamatkan kepadanya dapat dibuktikan tidak benar. Di era saya dulu, ingat saya 4 kali DPR menggunakan hak angketnya.
Setuju, jangan terlalu dipolitisasi
Sejumlah kalangan mengatakan janganlah kasus Jiwasraya dan Asabri ini terlalu dipolitisasi. Saya sangat setuju. Meskipun, bagaimanapun tak mungkin hal begini akan terbebas sama sekali dari perbincangan politik.
Masih kuat dalam ingatan saya ketika Pansus dibentuk oleh DPR dan hak angket digunakan untuk melakukan penyelidikan atas "bail-out" Bank Century 10 tahun yang lalu. Politik kita luar biasa gaduhnya. Serangan kepada pemerintah dan tentunya saya sendiri juga sangat gencar. Ditambah pula dengan unjuk rasa yang marak, yang digelar di mana-mana. Teriakannya "turunkan SBY-Boediono!". Sampai-sampai, yang berpikiran jernih berkomentar, sebenarnya kasus Bank Century ini soal hukum, ekonomi atau politik?
Saya jadi ingat pula, dulu pada periode pertama kepresidenan saya, teriakan para pengunjuk rasa adalah "Cabut Mandat SBY-JK". Mengapa? Mereka, dan lawan-lawan politik saya, melakukan protes karena 3 kali pemerintah menaikkan harga BBM lantaran harga minyak dunia meroket. Padahal kenaikan itu diperlukan guna mengurangi subsidi BBM dalam APBN, dan untuk menyehatkan fiskal kita. Itupun pemerintah lakukan dengan tetap membantu kaum miskin dan tidak mampu (melalui "cash transfer").
Kembali ke hiruk-pikuk "bail-out" Bank Century, secara jujur harus saya katakan bahwa kegaduhan politik yang melampaui batas itu tentu mengganggu stabilitas politik dan stabilitas sosial kita. Juga mengganggu konsentrasi pemerintah untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Menghadapinya, saya harus tetap bertahan dan harus memimpin jajaran kabinet seraya mengajak semua untuk kuat dan terus bekerja.
Pengalaman yang saya alami itu, melalui artikel yang saya tulis ini, tak perlu terjadi lagi. Tak perlu dialami orang lain. Tak perlu ada gerakan atau teriakan "turunkan Jokowi". Ingat yang saya katakan sebelumnya ~ janganlah terlalu mudah memvonis atau menghakimi siapapun sebagai bersalah. Apalagi pemimpin kita, Presiden Republik Indonesia.
Dalam keadaan negara seperti ini jangan pula ada "penumpang gelap", yang punya tujuan dan agenda tertentu. Jangan punya nafsu untuk menjatuhkan pemimpin dan pemerintahan di tengah jalan. Dulu hal begini beberapa kali saya alami. Kekuasaan harus didapatkan secara sah. Kalau tidak halal, Allah tidak akan merahmatinya. Kekuasaan harus didapatkan melalui pemilu. Itu jalan konstitusional yang disediakan oleh negara. Tentu saja pemilu ini harus benar-benar berlangsung secara jujur dan adil. Aparat negara harus netral. Tangan-tangan kekuasaan tak boleh bekerja di luar jalan pemilu yang harus "free and fair" itu.
Indonesia adalah negara hukum. Ada "rule of law". Mari kita hormati. Rakyat harus menghormatinya. Tentu saja negara dan pemerintah harus memberi contoh terlebih dahulu dalam penegakan "rule of law" itu. Panglimanya hukum, bukan politik. Bukan kekuasaan. Kalau pemerintah tidak memberi contoh yang baik, sebaliknya melanggar dan menyepelekan pranata hukum ini, rakyat akan sangat terluka hatinya.
Ini momentum baik bagi koreksi besar dan perbaikan total
Penyelesaian krisis keuangan Jiwasraya ini, atau mungkin masih ada lagi yang lain, adalah momentum baik yang disediakan oleh sejarah. Momentum untuk bersih-bersih. Momentum untuk koreksi dan perbaikan total.
Sangat mungkin yang melakukan penyimpangan dan menjalankan manajemen yang buruk juga terjadi di banyak perusahaan. Barangkali sejarah mengingatkan kepada kita semua, janganlah tidak patuh kepada konstitusi, undang-undang, sistem dan aturan yang berlaku. Janganlah kita meninggalkan prinsip-prinsip "good governance" dan "good corporate governance" yang menjunjung tinggi transparansi dan akuntabilitas. Janganlah para pengawas dan lembaga audit permisif dan tidak sensitif terhadap tanda-tanda adanya penyimpangan dalam pengelolaan keuangan negara. Janganlah kita bertindak tanpa pemikiran yang matang. Sebagaimana "wisdom" yang saya dapatkan di tanah Sunda (lebih dari separuh hidup saya, saya tinggal di Jawa Barat) yang mengajarkan ... jangan selalu berpikir dan bertindak "kumaha engke". Tetapi, "engke kumaha". Maknanya, berpikir dulu sebelum bertindak. Jangan sebaliknya, gegabah dalam bertindak akhirnya menjadi masalah besar di hari kemudian.
Alhamdulillah, Tuhan masih menyediakan hari esok. Kalau ada kesalahan kita, misalnya apa yang terjadi di PT. Jiwasraya dan mungkin lembaga lain, yang punya dampak besar, mulai saat inilah kita lakukan perbaikan. Insya Allah kita bisa. Indonesia Bisa.
Cikeas, 27 Januari 2020
Benarkah apa yang dikatakan SBY? Semestinya seorang SBY tidak dengan mudah dan gegabah membuat pernyataan yang bersifat opini yang mungkin saja akan memperkeruh skandal Jiwasraya. SBY wajib mempertanggungjawabkan pernyataannya secara hukum. Tidak etis rasanya seorang mantan presiden mengeluarkan pernyataan atau analisis yang diduga bernada politis dan mungkin bisa mempengaruhi proses penyelidikan dan penyidikan kasus Jiwasraya.
Atas dasar apa SBY mengeluarkan pernyataan itu? Apa maksud SBY membandingkan kasus Century dengan Jiwasraya. Siapakah oknum atau kelompok yang dikatakannya membidik Rini Soemarno, Sri Mulyani (Menkeu) dan Erick Thohir (Meneg BUMN)? Apa motivasi SBY menyebarkan informasi itu? Siapa dan apa sebenarnya target dan sasaran SBY? Apakah SBY mempunyai tujuan politis secara terselubung? Mengapa SBY lantang membeberkan 7 solusi & penyelesaian skandal Jiwasraya? Mengapa SBY tiba-tiba mau ikut campur soal penanganan skandal Jiwasraya. Bukankah penyelidikan dan penyidikan skandal Jiwasraya sudah dilaksanakan oleh Kejagung, KPK dan aparat hukum lainnnya. Semestinya SBY menyadari hal ini. Akan lebih bijak bila SBY diam dan menunggu hasil akhir dari skandal Jiwasraya ini.
Motif SBY
Dalam perspektif sederhana atau awam, ada empat kemungkinan atau dugaan yang membuat seorang SBY membuat pernyataan soal Jiwasraya, yaitu :
Pertama, kemungkinan atau patut diduga SBY ingin agar skandal Jiwasyara ini diselesaikan secara tuntas dan transparan kepada publik.
Kedua, kemungkinan atau patut diduga SBY ingin mengalihkan isu korupsi dengan isu politik.
Ketiga, kemungkinan atau patut diduga SBY mengetahui siapa dalang dan para ‘perampok’ uang nasabah Jiwasraya.
Keempat, kemungkinan atau patut diduga SBY menakut-nakuti nama pejabat yang disebutnya karena mungkin saja ketiga pejabat itu sudah mengendus pelaku kejahatan di Jiwasraya.
Polri, KPK serta Kejagung wajib memanggil SBY untuk memberikan klarifikasi secara hukum atas pernyataannya itu. Tujuannya ialah agar ayah AHY ini berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan yang langsung dipublis ke sosial media. SBY harusnya menyadari bahwa mungkin saja pernyataannya itu akan membuat gaduh situasi politik nasional sekaligus meresahkan publik, terutama nasabah Jiwasraya. Selain itu, agar pernyataan SBY ini tidak dipolitisir oleh kelompok tertentu yang memiliki tujuan politis dan melebar kemana-mana yang pada akhirnya membuat rakyat menjadi gagal fokus.
Kerugian Negara
BPK mengidentifikasi ada 16 temuan dalam Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu (PDTT) yang dilakukan terhadap Jiwasraya tahun 2016. Beberapa temuan itu, diantaranya penempatan saham di PT Trikomsel Oke Tbk (TRIO), PT Sugih Energy Tbk (SUGI), dan PT Eureka Prima Jakarta Tbk (LCGP) tahun 2014 dan 2015.
Jiwasraya berpotensi gagal bayar atas pembelian medium term note (MTN) PT Hanson International Tbk (MYRX). Saat ini, Jiwasraya terlibat tekanan likuiditas. Manajemen Jiwasraya menyebut ekuitas perseroan negatif sebesar Rp23,92 triliun per September 2019. Pasalnya, liabilitas perseroan mencapai Rp49,6 triliun, sedangkan asetnya hanya Rp25,68 triliun. Jiwasraya juga belum dapat membayar klaim polis jatuh tempo sebesar Rp12,4 triliun kepada nasabah tahun 2019.
Jiwasraya berpotensi merugikan keuangan negara Rp13,7 triliun per Agustus 2019. Kejagung sudah memanggil sejumlah saksi, antara lain mantan Direktur Utama Jiwasraya Asmawi Syam, mantan Kepala Divisi Sekretariat Jiwasraya Sumarsono, mantan Kepala Divisi Hukum Jiwasraya Ronang Andrianto. Kemudian, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Riswinandi sebagai petinggi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai saksi ahli. Lalu, Direktur Utama Hanson International Benny Tjokrosaputro, mantan Agen Bancassurance Jiwasraya Getta Leonardo Arisanto, Kadiv Pertanggungan Perorangan dan Kumpulan Jiwasraya Budi Nugraha. Kejagung juga telah mencekal 10 orang terkait pengusutan kasus dugaan korupsi Jiwasraya.
Kronologi Jiwasraya
Mulai tahun 2002 Jiwasraya mengalami kesulitan. Berdasarkan catatan BPK, Jiwasraya membukukan laba semu sejak tahun 2006. Tapi, tahun 2014, Jiwasraya menjadi sponsor klub sepak bola Manchester City. Tahun 2015, Jiwasraya meluncurkan produk JS Saving Plan dengan cost of fund yang sangat tinggi di atas bunga deposito dan obligasi. Dana itu iinvestasikan dalam saham dan reksadana berkualitas rendah.
Di tahun 2017, Jiwasraya memperoleh opini tidak wajar dalam laporan keuangannya. Padahal, saat itu Jiwasraya membukukan laba Rp360,3 miliar. Opini tidak wajar itu diperoleh akibat adanya kekurangan pencadangan keuangan sebesar Rp7,7 triliun. Pada tahun 2018, Jiwasraya membukukan kerugian unaudited sebesar Rp15,3 triliun. Pada posisi per 30 Juni 2018, Jiwasraya diketahui memiliki 28 produk reksadana dengan 20 reksadana diantaranya memiliki porsi di atas 90 persen. Bulan September 2019, kerugian menurun jadi Rp13,7 triliun. Di bulan November 2019, Jiwasraya mengalami negative equity sebesar Rp27,2 triliun.
Melihat persoalan keuangan Jiwasraya yang semakin kronis, BPK mendapat permintaan dari Komisi XI DPR RI dengan surat Nomor PW/19166/DPR RI/XI/2019 tanggal 20 November 2019 untuk melakukan PDTT lanjutan atas permasalahan itu. Selain itu, BPK juga diminta Kejaksaan Agung untuk mengaudit kerugian negara. Permintaan itu dilayangkan melalui surat tanggal 30 Desember 2019.
Jadi, penanganan skandal korup Jiwasraya bukan hanya masuk di sektor audit saja, tetapi juga ranah hukum. Skandal Jiwasraya ini merupakan kasus kejahatan berskala luar biasa karena memiliki risiko sistemik dan melibatkan banyak pejabat.
Operasi senyap yang dilakukan Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok benar-benar membuat mafia migas sekarat. Ahok yang dikenal sebagai pemimpin jujur dan memegang teguh komitmen untuk transparan kepada publik telah membuat oknum-oknum ‘perampok’ minyak negara yang bercokol di Pertamima terkapar berat.
Salah satu buktinya ialah PT Pertamina sudah dua kali menurunkan harga BBM di tahun 2020 yaitu harga Bahan Bakar Khusus (BBK), seperti Pertamax dan Pertamax Turbo. Harga BBM jenis Pertamax mengalami penyesuaian dari sebelumnya Rp9.200 menjadi Rp9.000 per liter. Pertamax Turbo disesuaikan dari Rp9.900 menjadi Rp9.850 per liter. Sebelumnya, tanggal 5 Januari 2020 lalu, Pertamina juga sudah menurunkan harga BBM untuk jenis Pertamax series dan Dex series.
Selain soal penurunan harga, Ahok juga sudah menerapkan transparansi di perusahaan pelat merah itu dengan membuka data impor bahan bakar minyak (BBM) PT Pertamina di laman resmi www.pertamina.com. Langkah itu merupakan cara paling efektif sebagai upaya Ahok untuk menciptakan Good Corporate Governance (GCG). Cara ini diharapkan bisa membawa perubahan signifikan bagi ladang bisnis Pertamina.
Transparansi tentu akan mengawasi kinerja Pertamina agar menjadi lebih profesional. Selama ini sudah menjadi rahasia umum bahwa Pertamina menjadi ladang korup segerombolan oknum, banyak terjadi maladministrasi serta birokrasinya yang dibuat rumit. Apa yang dilakukan Ahok dan Pertamina merupakan implementasi atas Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM 187K/10/MEM/2019 tentang Formula Harga Dasar Dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum atau Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan.
LIHAT dan BACA JUGA:
Pasang Iklan Pilkada 2020 di Indocomm, Keputusan Tepat!
Darurat Korupsi, Saatnya Koruptor Dihukum Mati!
Politisasi Agama
Namun, gebrakan Ahok di Pertamina mendapat perlawanan dari sekelompok oknum dengan membawa bendera ormas kecil seperti PA 212. Diantara oknum yang tidak suka Ahok di Pertamina ialah direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara yang menjadi salah satu orator dalam aksi 212 di Monas, Jakarta Pusat, Jumat (21/2/2020) lalu. Dia meminta Ahok mundur karena tak rela eks Gubernur DKI Jakarta itu menjabat Komisaris Utama Pertamina.
Perlawanan yang dilakukan PA 212 ini, tentu bukan tanpa alasan karena disinyalir sejumlah oknum elite di beberapa BUMN adalah pemasok dana bagi segelintir ormas radikal yang terus mempolitisasi agama untuk kepentingan politik. Maka, tak heran bila sejumlah elite BUMN dicopot dari jabatannya.
Meneg BUMN, Erick Thohir tampaknya mengetahui tentang adanya dugaan jaringan konspirasi antara kelompok ormas radikal dengan oknum elite di beberapa BUMN. Untuk itu, Erick secara tegas menolak tuntutan ngawur PA 212 yang meminta Ahok turun dari Komisaris Utama Pertamina. Dalam hal ini Erick juga diduga telah berhasil memutus jaringan kerjasama ormas radikal dengan oknum elite BUMN.
Kapabilitas Ahok
Jauh-jauh hari sebelum Ahok masuk bursa pejabat elite Pertamina banyak yang protes, khususnya dari serikat kerja Pertamina. Bahkan, ada sejumlah oknum politisi yang menilai Ahok tidak punya kapasitas dan kapabilitas.
Dikecam seperti itu, Ahok menilai hal itu biasa-biasa saja. Sesungguhnya mengukur kualitas, kapasitas dan kapabilitas seseorang di BUMN bukan dengan cara emosional dan melupakan rasionalitas. Kinerja seseorang di BUMN, termasuk Ahok harus diukur dari hasil akhir setelah melalui proses yang relatif panjang.
Ahok tentu memiliki beban moral yang sangat kuat di Pertamina. Mau tidak mau dia harus menghadapi mafia migas. Memperbaiki kinerja Pertamina merupakan tanggung jawabnya sebagai pejabat yang terikat sumpah jabatan untuk melindungi perusahaan negara.
Dalam memimpin Pertamina, Ahok harus mempunyai strategi khusus, karena Presiden Jokowi secara tegas telah memerintahkannya untuk mengeksekusi tiga tugas utama yaitu memberantas mafia migas, menekan impor miyak dan gas serta merealisasikan pembangunan kilang minyak nasional.
Mendapat tiga tugas penting itu, Ahok tentu harus melaksanakannya sekaligus membela kepentingan rakyat, terutama soal harga minyak dan gas bumi. Pertamina bukan milik mafia migas, tetapi milik negara dan rakyat serta harus dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Jadi, wajib hukumnya bagi Ahok untuk memberantas mafia migas di Pertamina dengan segala risikonya.