Wacana pemerintah untuk memulangkan sekitar six hundred orang Indonesia mantan anggota dan simpatisan ISIS mendapat kecaman dan penolakan dari rakyat dan netizen. Secara pribadi, Presiden Jokowi juga sudah menegaskan tidak setuju eks ISIS asal Indonesia dipulangkan.
Wajar dan sah saja kalau rakyat menolak. Hal ini disebabkan karena negara dinilai belum mampu menjalankan proses deradikalisasi dengan tepat, benar dan efektif. Para eks ISIS itu juga bukan lagi WNI karena mereka telah memusnahkan identitas paspor Indonesia. Jadi, mereka bukan lagi WNI.
Sementara itu, sekelompok kecil pengusung khilafah di Indonesia masih belum berhasil dibasmi secara tuntas. Nah, kalau orang Indonesia eks ISIS kembali pulang ke Nusantara, bukan hal yang mustahil Indonesia akan mengalami tantangan yang lebih berat dalam menjaga Pancasila dan NKRI.
Negara melalui Menteri Pertahanan, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Luar Negeri tidak boleh membiarkan orang Indonesia eks ISIS pulang.
Sebelumnya, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri sudah secara tegas mengusir segelintir pengusung khilafah di Indonesia #USIRKHILAFAH. Tindakan tegas Ketum parpol berlambang Banteng ini patut dicontoh parpol lain, aparat penegak hukum serta seluruh stake holder di Indonesia.
Megawati sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menegaskan, bila sekelompok pengusung khilafah lebih memilih cara yang merusak, maka mereka harus angkat kaki dari Indonesia. Menurut Megawati, paham khilafah sudah selesai tahun 1924 bersamaan dengan runtuhnya Turki Utsmani yang berganti dengan Republik Turki. Ideologi Indonesia adalah Pancasila, bahkan ide Pancasila sudah diapresiasi oleh negara-negara di Timur Tengah.
"Jangan rusak Indonesia, tolong. Pergilah kalian!" Kata Megawati di Workshop Wawasan Kebangsaan untuk PNS di Lingkungan Kementerian Sosial, Gedung Konvensi TMPN Utama Kalibata, Jakarta Selatan, seperti diberitakan Detiknews (9/12/2019).
Radikalisme Meningkat
Jauh hari sebelumnya, Mendagri Tito Karnavian saat masih menjabat Kapolri mengatakan, aksi terorisme atau radikalisme telah meningkat forty two persen disepanjang tahun 2018. Pelaku teror yang ditangkap sebanyak 396 pelaku.
"Sepanjang tahun 2018, jumlah aksi meningkat forty two persen dibandingkan tahun 2017, yakni dari 12 kasus menjadi 17 kasus," kata Tito saat menyampaikan hasil kinerja dan evaluasi Rilis Akhir Tahun Mabes Polri 2018 di Gedung Rupatama, Jakarta Selatan, seperti dilansir Okenews (27/12/2018). Aksi terorisme atas nama agama yang paling banyak menyedot perhatian publik di tahun 2018 ialah rentetan bom di Kota Surabaya, Jawa Timur.
ICTV: Perlukah Aksi Demo Mengatasnamakan Agama?
BACA JUGA:
Toleransi Terancam, Jenderal Fachrul Razi Takut?
Teroris Medsos
Di sisi lain, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah melakukan pemblokiran terhadap konten internet yang memuat radikalisme dan terorisme sebanyak 11.803 konten, mulai dari tahun 2009 sampai tahun 2019 (records Kominfo 19 Maret 2019). Platform konten yang terbanyak diblokir yaitu facebook dan instagram sebesar 8.131 konten. Sementara di twitter sebanyak 8.131 konten. Konten radikalisme dan terorisme yang diblokir di google/YouTube sebanyak 678 konten. Kemudian 614 konten di platform telegram, 502 konten di filesharing, dan 494 konten di situs internet.
Sejak tahun 2009 sampai dengan tahun 2017, Kementerian Kominfo sudah melakukan pemblokiran konten sebanyak 323 konten, yang terdiri dari 202 konten di situs net, 112 konten di platform telegram, 8 konten di facebook dan instagram dan 1 konten di YouTube.
Tahun 2018, telah diblokir konten radikalisme dan terorisme sebanyak 10.499 konten yang terdiri dari 7.160 konten di fb dan instagram, 1.316 konten di twitter, 677 konten YouTube, 502 konten di telegram, 502 konten di record sharing, dan 292 konten di situs web. Selama Januari sampai Februari 2019 telah dilakukan pemblokiran sebanyak 1031 konten yang terdiri 963 konten facebook dan instagram dan 68 konten di twitter.
Tindakan pemblokiran sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU RI No eleven Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Bahkan, ada eleven kementerian/lembaga (Kemenko Polhukam, Kemendagri, Kemendag, Kemenkominfo, Kemendikbud, Kemenkumham, BIN, BNPT, BIPP, BKN, KASN) ikut menandatangani SKB tentang penanganan radikalisme pada Aparatur Sipil Negara (ASN). Ke eleven Kementerian itu bertanggungjawab penuh untuk menjaga empat pilar negara yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Prabowo Harus Bertindak
Sesungguhnya rakyat sangat berharap, terutama kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto bekerjasama dengan Mendagri, Menag dan Menlu untuk segera bertindak tegas dan keras dalam memberantas, membubarkan ormas-ormas radikal dan menangkap oknum-oknum yang diduga kuat sebagai pelaku radikalisme, terorisme.
Oknum-oknum perusak ideologi Pancasila ini disinyalir sudah menyusup ke lembaga-lembaga pendidikan nasional, lembaga negara, pesantren-pesantren, kelompok pengajian di masjid-masjid, lembaga donasi on-line yang mengatasnamakan islam dan yatim piatu serta sejumlah oknum ASN/BUMN, karyawan pemerintahan di provinsi, kabupaten dan kabupaten kota di seluruh Indonesia #PRABOWOHARUSBERTINDAK.
Ada tujuh langkah yang bisa dilakukan Prabowo, Mendagri, Menlu dan Menag untuk mengatasi kelompok radikalisme, pengusung khilafah dan ormas-ormas radikal ini yaitu: Pertama, mencabut status kewarganegaraan mereka, bila mereka menolak ideologi pancasila. Kedua, menangkap dan menghukum keras mereka sesuai UU yang berlaku, bila perlu menerapkan hukuman mati. Ketiga, mengusir mereka dari Indonesia. Keempat, menembak mati, bila tindakan anarkisme mereka telah melampaui batas kemanusiaan, melanggar UU, aksi intoleransi yang menjurus konflik SARA, merusak keamanan, kenyamanan negara serta melakukan makar, baik secara langsung maupun tak langsung. Kelima, menangkap dan menghukum keras pembuat dan penyebar konten internet yang menyebarluaskan radikalisme, terorisme, dan khilafah. Keenam, bubarkan ormas-ormas radikal yang mengatasnamakan agama. Ketujuh, negara harus menolak kepulangan WNI mantan ISIS ke Indonesia.
Seluruh instrumen negara, termasuk Polri dan TNI agar serius menjaga keamaman negara dari kelompok yang ingin memecah belah NKRI, mengganti idelogi Pancasila dan merusak toleransi nasional. Rakyat yakin, bila negara menolak WNI mantan ISIS pulang ke Indonesia, maka di tahun 2022 mendatang Indonesia akan terbebas dari bahaya radikalisme dan khilafah.