Friday, June 19, 2020

Muslim Kardus [ OPINI ]

Rasanya nggak enak banget disebut muslim kardus. Emang ada muslim kardus? Nggak ada, itu cuma istilah gue doang, hihihi… Setahu gue, kardus berfungsi untuk mengemas barang-barang baru atau bekas [kecuali sang mantan…eiiits!!!]. Terkadang sebelum dipakai, kardus dilipat dan disimpan di gudang. Penjual kardus juga banyak bertebaran di pinggir jalan. Harga kardusnya juga bervariasi.

Lantas, apa dong muslim kardus? Muslim kardus adalah seorang muslim yang menjalankan ajaran islam dengan semaunya dan seenaknya sendiri serta merasa dirinya sudah paling benar diantara orang lain, baik yang seagama maupun yang berbeda agama. Muslim kardus sangat yakin dengan apa yang dilakukannya akan mendapat pahala dan diganjar masuk surga, walaupun harus menyakiti atau mengganggu makhluk hidup lainnya.

Umumnya, muslim kardus sangat tidak kritis dan pasif ketika mendengar tausyiah dari ustadz, kyai maupun habib. Akhirnya, muslim kardus mudah ‘dikibulin’ oleh siapa saja. Para ustadz, kyai, habib atau mungkin juga politisi dan pejabat paling suka dengan muslim kardus karena mereka gampang dibohongi dengan iming-iming surga dan bidadari.

Umumnya, muslim kardus malas membaca buku-buku agama, muslim kardus tidak belajar agama dengan guru yang menyejukkan, muslim kardus lebih suka menggunakan emosi ketimbang nalar, muslim kardus sedikit sekali bersyukur, bersabar dan ikhlas, muslim kardus yakin dengan surga yang dijanjikan tokoh agama panutannya, muslim kardus merasa dirinya sudah paling benar di dunia dan akherat, muslim kardus lebih suka aksi demo mengatasnamakan agama walaupun aksi itu tidak ada hubungannya dengan agama, muslim kardus tidak memahami islam yang Rahmatan Lil’ Alamin.

Sifat dan kelakuan muslim kardus sama seperti kardus yang bisa dimasuki apa saja untuk kepentingan pemilik kardus. Pemilik kardus punya hak penuh untuk menjual, melipat, membuang, membakar dan menyimpan kardusnya di sudut gudang yang gelap.

Kalau kardusnya lapuk dan sobek, pemilik kardus tinggal membuangnya ke tempat sampah. Apakah saat ini umat muslim di Indonesia, sifatnya sudah seperti kardus? Mari kita renungkan bersama. Mudah-mudahan saya dan Anda tidak termasuk kedalam golongan muslim kardus, aamiin… [ Wawan Kuswandi ]

http://www.facebook.com/INDONESIACommen/

plus.google.com/+INDONESIAComment

#INDONESIAComment

Agama Karet [OPINI]

Islam itu agama Rahmatan Lil’ Alamin (silahkan Anda searching di mbah google, apa itu Rahmatan Lil’ Alamin). Dalam pandangan saya, sekarang ini sebagian kecil kaum muslim  Indonesia sedang mengalami krisis iman. Kok bisa? Yaaa…, bisalah. Buktinya? Banyak diantara mereka menjadikan agama islam sebagai agama karet yang bisa ditarik kekiri, kekanan, keatas, kebawah, kesamping, kedepan, kebelakang dan kemana saja. Agama islam benar-benar sudah seperti karet. Sebagaimana sifat karet yang kita ketahui, dia bisa mengikat dengan kencang maupun kendor, tergantung siapa yang mengikatnya dan benda apa yang diikatnya.

Tarik-menarik dan ikat-mengikat agama karet terjadi karena ada kepentingan tertentu. Mungkin saja kepentingan kekuasaan, kepentingan politik, kepentingan agama, kepentingan ekonomi, kepentingan budaya, kepentingan sosial atau bisa jadi kepentingan teknologi dan informasi.

Contohnya ialah seseorang yang mengaku ustadz dan baru saja menguasai satu ayat Al Qur’an sudah berani menghina dan mengecam penganut agama lain. Belum lagi ada sejumlah penganut muslim yang mengklaim dirinya sebagai kyai dan habib, mereka dengan seenaknya mengecam dan menyebar fitnah kemana-mana. Mereka lupa terhadap fungsinya sebagai pewaris nabi.  Tausyiah yang mereka lakukan lebih banyak didominasi oleh nada kebencian terhadap orang-orang yang berbeda kepentingan dengan mereka.

Ajaran islam yang suci, bersih serta menyejukkan semakin banyak diselewengkan oleh oknum-oknum yang mengaku ustadz, kyai atau  habib. Pada akhirnya, agama islam menjadi begitu mengerikan, menakutkan, sadis bin sangar serta muncul preman-preman anarkis berjubah agama dengan bendera ormas.

Coba Anda tengok fakta lainnya, banyak pejabat negara dan anggota parlemen yang korupsi ‘gila-gilaan’ berlindung dibalik islam, segelintir politisi yang diduga ingin membunuh KPK mengaku penganut islam, sejumlah oknum yang diduga merencanakan aksi makar membawa-bawa nama islam, aksi persekusi menyebut-nyebut islam, aksi demo mengatasnamakan islam, sekelompok orang diduga ingin mengganti pancasila dan UUD 45  karena dinilai tidak islami, menghina, menebar kebencian, memfitnah dan menyebar hoax memakai slogan islam, politisi rakus dan serakah rajin meneriakkan islam, perbuatan intoleransi membawa-bawa islam. Pokoknya semua dikaitkan dengan islam. Islam bagi sebagian kecil muslim Indonesia menjadi sebuah fenomena spiritual marginalistik.

Akhirnya, kaum muslim Indonesia menjadi bahan ‘lelucon’ umat muslim dunia. Kaum muslim Indonesia menjadi begitu hina dan rendah derajatnya. Perlahan tetapi pasti, bila kaum muslim Indonesia terus-menerus menjadikan islam sebagai agama karet, maka ajaran islam yang penuh KASIH SAYANG dan LEMAH LEMBUT dalam pergaulan sosial akan berubah menjadi agama yang kejam dan ganas. Di sisi lain, komunitas muslim dunia semakin hari semakin kuat memelihara perdamaian dan merawat kesejukkan dalam kehidupan sosial. Sebaliknya, tindak-tanduk kaum muslim  di Indonesia semakin memprihatinkan.  Gimana bro, setuju? Setuju atau tidak, saya ingin dunia ini tetap damai. Ayo  sruput bareng teh tubruk anget yang sudah saya sajikan untuk Anda. [Wawan Kuswandi]

www.Facebook.Com/INDONESIAComment/

plus.Google.Com/ INDONESIAComment

#INDONESIAComment

Thursday, June 18, 2020

Awas! Ponsel Mendikte Hidup Kita [OPINI]

Saat ini,  keberadaan telepon seluler (ponsel) menjadi begitu penting bagi kehidupan manusia. Saking pentingnya, manusia tidak lagi percaya diri atas statusnya sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia. Apa yang ada dalam pikiran Anda,  bila saya menyebut angka dan huruf? Sebagian besar dari Anda mungkin menjawab ponsel.

Ponsel merupakan alat komunikasi sosial di abad ini yang paling  sukses  mendikte pola interaksi  antar manusia di alam semesta. Jarak, ruang dan waktu  tak lagi menjadi hambatan seseorang untuk kongkow dengan siapa saja. Cukup hanya dengan memencet tuts angka dan huruf, obrolan langsung terjadi.

Kecanggihan berbagai fitur ponsel menjadi showroom bergengsi bagi seseorang  untuk unjuk harta, benda, wanita, pacar, teman, aktivitas, foto keluarga, jabatan, kuliner, status sosial, bahkan  aurat. Disadari atau tidak, seseorang telah membongkar sisi privasinya sendiri ke publik.

Memanfaatkan  ponsel untuk berbagai kepentingan pribadi  adalah  hak  seseorang. Jadi, siapa pun tak punya hak untuk ikut campur.  Namun, sampai sebegitu besarkah kekuasaan  hak merasuki hati dan pikiran manusia? Jawabannya hanya Anda yang tahu.  Bahkan, para penggila  ponsel menjustifikasi bahwa ponsel adalah salah satu medium silaturahim terbaik saat ini. Benarkah?

Saya pernah mengalami kejadian ‘nyeleneh’ menyangkut eksistensi ponsel.  Pertama,  seorang jamaah di sebelah saya tidak mendengarkan khotbah khotib saat menunaikan sholat Jumat.  Dia lebih asyik bermain  ponsel dengan jari-jarinya. Kedua, salah satu teman saya ‘nyengir’ sendiri dengan ponselnya,  saat  teman-teman lain  ngobrol santai ngalor-ngidul di teras rumah.  Ketiga, saya menegur keponakan saya yang matanya fokus ke ponsel,  ketika sedang berlangsung rapat keluarga.  Keempat, beberapa pengendara motor yang saya tolong saat kecelakaan di jalan,  mengaku mereka keasyikan ngobrol via ponsel sambil mengendarai motor.  Berita-berita di TV juga banyak menginformasikan tentang konflik antar sesama  selebritis  atau politisi  gara-gara saling hujat melalui ponsel.  Bocah kelas 6 SD asyik bermain game online dengan  ponsel hingga lupa waktu untuk makan, minum dan belajar.  Kejahatan kekerasan seks ABG terjadi akibat  berkenalan dengan orang asing melalui  ponsel.  Sebenarnya,  masih banyak  lagi ‘skandal kriminal’ lainnya akibat dari pemakaian ponsel yang tidak proporsional.

Ponsel telah membuat derajat seorang manusia begitu rendah. Manusia tidak mau lagi menjalankan fungsinya sebagai makhluk sosial  yang lebih mengutamakan komunikasi tatap muka,  berbicara langsung  dan bersilaturahim. Cepat atau lambat, manusia telah meninggalkan kodratnya sebagai makhluk sosial. Manusia lebih takut kehilangan ponsel daripada  kehilangan  jati dirinya.   Sangat sedikit sekali ponsel dimanfaatkan  untuk bertutur sopan, berbagi kebaikan, berbagi do’a, berbagi kasih sayang, mengingatkan kejujuran atau memberikan inspirasi positif bagi kehidupan antar sesama di jagat raya. Sadarkah kita? [Wawan Kuswandi]

www.Facebook.Com/INDONESIAComment/

plus.Google.Com/ INDONESIAComment

#INDONESIAComment

Deenwawan.Photogallery.Com

Surga Itu Bukan Urusan Manusia [OPINI]

Seorang tokoh agama, termasuk yang bergelar habib sekalipun tidak punya kekuasaan untuk menentukan seseorang masuk surga atau neraka. Surga itu urusan Tuhan. Sengaja kalimat ini saya ungkapkan pada awal tulisan agar pembaca memahami  hak dan kewajibannya sebagai manusia  pemeluk agama. Jadi, kalau ada seorang tokoh agama, kyai, mubaligh, ustadz atau habib selalu menggembar-gemborkan surga dalam setiap ceramah atau orasinya, terutama pada saat aksi demo yang bersifat politis, itu  jelas-jelas merupakan kebohongan yang teramat besar dan luar biasa. Sesungguhnya, manusia sebagai pemeluk agama hanya memiliki kewajiban yang diperintahkan Tuhan. Sedangkan hak manusia setelah menunaikan kewajiban ditentukan sepenuhnya oleh Tuhan.

Tokoh agama apapun tak punya hak mendikte Tuhan untuk memasukkan seseorang ke dalam  surga atau negara. Kalau seorang tokoh agama dengan lantangnya berani mengatakan bahwa seseorang dijamin masuk surga atau neraka atas perintahnya, maka tokoh agama itu benar-benar telah melampaui kekuasaan Tuhan sebagai pemilik dan penentu takdir alam semesta.

Seperti kita ketahui dalam satu tahun terakhir ini, sekelompok tokoh agama yang bersembunyi dibalik ormas radikal dan selalu mengaku-ngaku membela islam banyak melakukan aksi demo.

Para tokoh agama ormas itu,  terus mengait-ngaitkan persoalan politik dengan kaidah dan norma agama. Contohnya ialah tudingan penistaan  agama dan cap kafir yang dituduhkan ke Ahok. Tidak tanggung-tanggung para tokoh agama ini berani menjanjikan surga bagi umat muslim yang tidak memilih Ahok dalam pilgub Jakarta, beberapa waktu lalu.

Segelintir tokoh agama di Indonesia  semakin tidak cerdas dalam memahami dan menafsirkan ajaran agama dalam kehidupan sosial yang universal. Sebut saja seperti Rizieq Shihab, Tengku Zulkarnain, Bachtiar Nasir dan kyai-kyai atau ustadz-ustadz  ‘kroco’ lainnya yang terbilang masih ‘ingusan’ dalam memaknai agama, terutama dalam konteks kemanusiaan.

Lantas, kita sebagai bagian dari umat muslim, apakah mau terus terjebak dalam surga versi tokoh agama yang kelakuannya sudah berani melampaui kekuasaan Tuhan? Jadilah umat muslim yang cerdas dan jangan terbuai oleh  janji surga  tokoh agama apapun.  Pertanyaannya ialah Apakah kita mau masuk surga versi tokoh agama yang berperan sebagai Tuhan? Atau kita tetap melakukan kewajiban sebagai umat beragama dan menyerahkan sepenuhnya soal masuk surga kepadaNya.  Silahkan Anda Pilih sendiri. Saya ngak mau ikut campur.  [Wawan Kuswandi]

www.facebook.com/INDONESIAComment/

plus.google.com/+INDONESIAComment

#INDONESIAComment

Susahnya Masuk Neraka [OPINI]

Apa benar masuk neraka itu susah? Pasti Anda tertawa membaca judul tulisan diatas. Mungkin yang ada dalam pikiran Anda ialah justru yang susah itu masuk surga. Seperti sudah saya sampaikan dalam tulisan sebelumnya, urusan surga dan neraka adalah hak mutlak Tuhan. Siapapun makhluk hidup di muka bumi ini tidak akan pernah tahu, siapa-siapa saja manusia atau makhluk hidup di alam raya yang akan dipilih Tuhan untuk tinggal di neraka.

Yang pasti, surga selalu identik dengan kenikmatan hidup. Sedangkan, neraka identik sebagai tempat kehidupan yang teramat menyakitkan dan pedih. Saya yakin, tak ada satupun manusia yang ingin masuk neraka.

Anda tentu masih ingat, sekelompok tokoh agama radikal (saya tak perlu menyebutkan nama mereka karena saya percaya Anda pasti sudah tahu) yang beberapa waktu lalu saat aksi demo, sering sekali mengeluarkan pernyataan yang membuat saya miris yaitu bila orang muslim bersalaman dengan nonmuslim akan masuk neraka.  Bila orang muslim  mengucapkan hari raya keagamaan nonmuslim akan masuk neraka. Bila orang muslim bekerja dengan pengusaha nonmuslim akan masuk neraka. Bila orang muslim menolong nonmuslim akan masuk neraka. Bila orang muslim memilih pemimpin nonmuslim akan masuk neraka dan masih banyak lagi neraka-neraka lainnya.

Jadi, sebenarnya masuk neraka itu memang susah karena ‘segudang’ larangan sudah dilontarkan  oleh sekelompok kecil tokoh agama yang suka mencampuradukkan perikemanusiaan dengan neraka. Politik dikaitkan dengan neraka, ekonomi dihubungkan dengan neraka, kebudayaan diidentikkan dengan neraka, ideologi dianggap neraka. Semuanya neraka. Akibatnya manusia jadi susah masuk neraka dan neraka jadi kosong melompong.

Pertanyaanya sekarang ialah apakah ukuran seseorang masuk neraka itu memang sesuai dengan segudang larangan yang disampaikan segelintir tokoh agama yang saya sebutkan diatas?

Mungkin juga, segudang larangan yang dikatakan para tokoh agama diatas,  justru yang bisa  membuat seseorang menjadi  gampang masuk neraka. Coba Anda renungkan baik-baik. Sampai detik ini,  saya masih terus bersahabat, bergaul dan hidup bersaudara bersama penganut agama lain (nonmulsim).  Apakah saya akan masuk neraka? Saya tidak tahu. Coba kita tanyakan kepada segelas teh tubruk anget yang ada diatas meja triplek dekil. [Wawan Kuswandi]

www.facebook.com/INDONESIAComment/

plus.google.com/+INDONESIAComment

#INDONESIAComment

Wednesday, June 17, 2020

Ritual Agung Kebo Mulih Pakandangan

ICTV: Liputan on the spot Wawan Kuswandi dalam acara

'Ritual Agung Kebo Mulih Pakandangan' di Desa Cigugur,

Kuningan, Jawa Barat. Selamat menyaksikan....

Debat Capres atau Dialog Capres, Pilih Mana?

Debat capres yang rencananya akan digelar KPU dan ditayangkan TV nasional 17 Januari mendatang, aromanya menyeruak tajam mengisi ruang-ruang publik. Komentar seasoned dan kontra soal debat capres, semakin kencang membelah fanatisme politik sejumlah politisi dan parpol pengusung dua pasangan capres dan cawapres yang ikut dalam kontestasi pilpres 2019.

Warganet juga tak mau kalah, ratusan argumen dari mulai yang logis sampai irasional menghiasi laman sosial media. Mengapa debat capres begitu menyedot emosi dan nalar bangsa ini? Apakah rakyat membutuhkan debat capres? Pertanyaan ini sangat menggelitik, sekaligus menjadi tinjauan kritis terhadap penting atau tidaknya debat capres.

Sesungguhnya, pemakaian kata debat sudah mengandung polemik dan friksi. Kata debat dalam bahasa Indonesia memiliki makna ?Perang? Kata atau argumentasi. Kata debat lebih berkonotasi konflik antara dua orang atau lebih saat mengupas sebuah persoalan sosial. Jadi, debat capres itu merupakan wujud konflik politik terbuka yang sengaja diciptakan diantara dua pasangan capres dan cawapres yang sedang berkontestasi. Apakah ini yang kita mau? Silahkan pikirkan baik-baik, sebelum bangsa ini pecah hanya karena gara-gara kekuasaan politik lima tahunan.

Rakyat tidak butuh debat capres, tapi butuh pilpres yang aman, nyaman dan damai. Rakyat tidak ingin negara chaos hanya karena gara-gara rebutan kursi presiden. Rakyat butuh bukti, bukan janji manis yang dibungkus dalam visi dan misi ekonomi, hukum, pemberantasan korupsi, terorisme dan HAM.

Debat Kusir Capres

Kalau saja bangsa ini memahami dengan baik bahwa kontestasi politik itu merupakan wujud demokrasi yang jujur, adil dan damai, maka pemakaian kata dialog capres akan lebih elegan dibandingkan dengan kata debat capres. Kata conversation lebih mengedepankan diskusi, berbagi pendapat dan ide dalam suasana kekeluargaan yang nyantai dan sejuk, paham khan?

Lantas, kalau debat capres tetap mau dilaksanakan, arahnya mau dibawa kemana? Setahu saya, sebuah perdebatan (apalagi debat capres) sangat sedikit sekali memberi manfaat bagi publik. Justru debat capres bisa menyulut konflik politik semakin memanas, baik secara terbuka maupun terselubung antarpaslon maupun antarpendukungnya (parpol, politisi dan rakyat).

Kemampuan bangsa ini dalam menilai debat capres sebagai salah satu bentuk demokrasi masih sangat rendah. Oleh karena itulah, dalam setiap perdebatan sering muncul istilah debat kusir. Saya khawatir, debat capres akan menjadi debat kusir yang bisa merusak perbedaan politik yang ada menjadi konflik terbuka. Lebih mengkhawatirkan lagi, bila ajang debat capres diskenariokan oleh sekelompok politisi rakus untuk merekayasa politik kotor. Mereka akan memanfaatkan debat capres untuk menebarkan hoaks (kebohongan), mengumbar janji-janji muluk, menjelek-jelekkan salah satu paslon dan membohongi rakyat.

Debat capres tak ubahnya seperti TV Shopping yaitu para paslon akan berperan seperti seorang salesman yang menjual obat kuat. Para paslon pasti akan melakukan pencitraan pribadi dan produknya (kebijakan politik), ngomong berapi-api soal membela kepentingan rakyat. Debat capres akan menjadi panggung terbuka bagi para paslon untuk mengelabui nalar rakyat. Debat capres menjelma menjadi virus yang mematikan bagi rakyat.

Debat Capres Mau Kemana?

Debat capres mau dibawa kemana? Kalau hanya sekadar menyampaikan visi dan misi, tidak perlu disiarkan di TV dengan memakai jargon debat capres. Debat capres akan membawa air of mystery politik nasional semakin tidak kondusif. Buktinya, acara talkshow di TV beberapa waktu lalu yang mengangkat tema diskusi pra debat capres, ada beberapa politisi dungu dari dua kubu paslon berdebat panas dan ngawur. Mereka ngotot dengan kebenaran politiknya masing-masing. Ini jelas memalukan dan membodohi rakyat. Sadarkah bangsa ini?

Saya menduga, para politisi pengusung paslon sudah mempunyai time table tersembunyi untuk saling ?Menjatuhkan? Lawan politiknya dalam debat capres. Misalnya, kubu paslon nomor urut 02 akan mengeritik seluruh kebijakan politik dan ekonomi yang dibuat paslon petahana (Jokowi) atau paslon nomor urut 01. Begitu juga dengan kubu paslon nomor urut 01, kemungkinan besar mereka akan membongkar rekam jejak paslon nomor urut 02 (Prabowo), terkait dengan kasus HAM, hukum dan korupsi. Sampai saat ini, saya masih belum tahu apa sih tujuan debat capres?

Elektabilitas Paslon

Sungguh sangat ngelantur, jika debat capres dinilai oleh sebagian pihak akan mampu mengatrol elektabilitas pasangan capres-cawapres. Elektabilitas tidak terkait langsung dengan debat capres. Sangat kecil kemungkinannya bahwa debat capres bisa menaikkan elektabilitas paslon.

Elektabilitas justru berkaitan erat dengan cara-cara kampanye paslon, kejujuran paslon, prestasi paslon, rekam jejak paslon serta manuver politik para politisi pengusung paslon. Peran para caleg dalam kampanye politik yang jujur dan bersih diri juga sangat penting untuk menaikkan elektabilitas paslon. Elektabilitas paslon akan semakin merosot tajam, bila mereka berkampanye tidak berbasis information alias bohong, tidak mau dikritik, menjelek-jelekkan paslon lain, tak mau mengakui prestasi paslon lain dan memecah belah bangsa dengan memakai isu SARA.

Sikap Politik Milenial

Kelompok milenial di pinggiran kota atau pedesaan yang kurang terdidik dan tidak melek politik mungkin saja akan terbawa arus oleh ‘ocehan-ocehan’ politik paslon dalam debat politik. Sekali lagi saya ingin menekankan bahwa peran para caleg sangat penting bagi elektabilitas paslon karena mereka merupakan jembatan komunikasi politik, sekaligus berperan sebagai opinion leaders bagi kelompok milenal. Bila para caleg parpol gagal ‘membimbing’ pemahaman politik kelompok milenial, maka suara politik milenial akan lenyap sia-sia. Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa suara milenial tidak akan berpengaruh bagi paslon yang berkontestasi dalam pilpres 2019.

Di sisi berbeda, generasi milenial terdidik dan melek politik di perkotaan, tidak akan pernah terpengaruh oleh debat capres karena mereka terus mengikuti perkembangan politik, melalui media massa dan sosial media. Namun, tidak dapat dipungkiri, kelompok milenial jenis ini rawan golput (menolak ikut nyoblos) karena mereka sudah muak dengan sejumlah politisi muka lama yang sudah bertahun-tahun bercokol di gedung DPR RI atau parpol. Parpol dinilai gagal dalam kaderisasi. Jadi, jangan salahkan kelompok milenial bila mereka golput. Justru parpol dan politisi harus berkaca diri soal kaderisasi. Parpol harus berani ?Membuang? Politisi tua alias muka lama dari panggung politik zaman now. Salam seruput kopi tubruknya bro?

LIHAT JUGA:

Indocomm.Blogspot.Co.Identification

www.Fb.Com/INDONESIAComment/

plus.Google.Com/ INDONESIAComment

@INDONESIAComment

Indonesiacommentofficial

@wawanku86931157

#INDONESIAComment

Deenwawan.Photogallery.Com

ICTV YouTube

foto: istimewa