Pemicu konflik dunia ini berawal dari adanya pengakuan secara sepihak Presiden AS, Donald Trump terhadap status Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Pada tanggal 6 Desember 2017 lalu, Presiden Trump, tiba-tiba mengumumkan keputusannya untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Jerusalem. Pengakuan Trump terhadap Yerusalem ini merupakan diplomasi provokatif pertama dalam sejarah kepresidenan AS.
Langkah Trump pun ditolak sejumlah negara di Timur Tengah, Uni Eropa dan beberapa negara NATO. Sebanyak 128 negara menentang keputusan Trump dan mendesak agar dia menarik pengakuannya atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Namun, bukan Trump namanya kalau tidak konfrontatif. Penolakkan itu bukan membuat Trump takut, tapi dia justru mengancam negara-negara yang menolak kebijakannya soal Yerusalem. Trump menegaskan, AS akan memutus bantuan keuangan kepada negara-negara yang mendukung resolusi PBB yang menolak kebijakan Trump soal status Yerusalem.
Kebijakan Trump soal Jerusalem, hanya mendapat dukungan sembilan negara dan 35 negara lainnya menyatakan abstain. Sedangkan, 21 negara lainya tidak memberikan suara. Di antara negara yang menyatakan abstain dalam pemungutan suara Resolusi PBB yaitu Australia, Kanada, Meksiko, Argentina, Kolombia, Republik Ceko, Hongaria, Polandia, Filipina, Rwanda, Uganda dan Sudan Selatan. Sedangkan negara-negara yang menolak resolusi PBB ialah Guatemala, Honduras, Kepulauan Marshall, Mikronesia, Palau, Nauru dan Togo, Amerika Serikat dan Israel.
BACA JUGA: BUKU 'Secangkir Opini Jakarta dan Ahok' TELAH TERBIT, MILIKI SEGERA!
Menyangkut pengakuan sepihak soal Yerusalem oleh Trump, Presiden Indonesia, Joko Widodo, menyampaikan pernyataan bahwa langkah Presiden AS, Donald Trump, sangat berbahaya. "Itu bisa mengancam stabilitas dunia," dalam pernyataan resmi Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, pada Kamis, 7 Desember 2017 lalu.
Dibalik Pengakuan Yerusalem
Dengan adanya diplomasi provokatif Trump, maka rencana perdamaian dan perundingan Israel-Palestina menjadi terbengkalai. Bahkan, kebijakan Trump ini justru menciptakan konflik politik di negara-negara Timur Tengah antara yang pro dan kontra terhadap kebijakan Trump.
Arab Saudi sebagai salah satu leader di kawasan Timur Tengah, justru nampak berpihak kepada Trump. Harapan Arab, kepada AS ialah agar Trump bisa mendukungnya dalam upaya menghadapi musuh bebuyutannya yaitu Iran. Otomatis dengan AS mendukung Arab, maka Israel pun akan ikut bersekutu dengan AS untuk menghadapi Teheran. Syarat yang dajukan AS kepada Arab sangat berat yaitu Arab Saudi harus membujuk semua negara di Timur Tengah mendukung kebijakan Trump soal Yerusalem.
Hal lain yang juga terkait dengan kebijakan Yerusalem ini ialah Trump ingin keluar dari tekanan oposisi domestik yang tidak menyukainya. Bahkan, sejumlah pejabat di gedung putih, termasuk Menlu, Rex Tillerson, juga terlibat konflik dengan kebijakan politik Trump terhadap Timur Tengah dan Korea Utara.
Akibat dari kebijakan Trump ini, dalam tiga tahun ke depan konflik antarsesama negara Timur Tengah masih akan terus berlangsung. Sedangkan untuk kawasan Asia, khususnya Korea Utara, masih bisa dikendalikan dengan adanya peran China dan Rusia.
Diplomasi provokatif Trump soal Yerusalem sangat memperburuk citra AS, di mata dunia, khususnya umat muslim. Sebelum menjadi Presiden AS, dalam setiap kampanyenya, Trump pernah secara terbuka menyebut umat Islam sebagai gerombolan teroris yang dinilainya merusak dunia. Bahkan, ketika itu, Trump juga diduga kuat mendukung pendanaan federal untuk melegalkan aborsi melalui institusi Planned Parrenthood (Daily Mail 14/02/2016).
Saat debat antar kandidat capres AS, Trump juga tidak segan-segan melakukan charracter assasination dan black campaign terhadap pesaingnya Hillary Clinton. Warga AS sendiri, menyebut Trump sebagai tokoh yang anti Islam dan anti migran. Ini terlihat dari sejumlah kebijakan politiknya dengan negara-negara Islam yang konfrontatif.
Di Indonesia, sikap dan perilaku Trump juga memunculkan antipati yang sangat kuat dari rakyat Indonesia, terutama dari kaum muslim. Sejak Trump menjadi Presiden AS, terjadi sejumlah perubahan besar dalam konstelasi komunikasi politik dunia, salah satunya soal statusquo Yerusalem. Bahkan, sebagian analis mengkhawatirkan bahwa semua kebijakan yang dikeluarkan Trump, mungkin bisa merusak hubungan politik dan keagamaan antarnegara di dunia.
Salam sruput teh tubruk bro…[ Wawan Kuswandi ]
www.facebook.com/INDONESIAComment/
plus.google.com/+INDONESIAComment
Indocomm.blogspot.com
#INDONESIAComment
Deenwawan.photogallery.com