Saturday, July 11, 2020

Timur Tengah dan Diplomasi Provokatif Trump

Pemicu konflik dunia ini berawal dari adanya pengakuan secara sepihak Presiden AS, Donald Trump terhadap status Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Pada tanggal 6 Desember 2017 lalu, Presiden Trump, tiba-tiba mengumumkan keputusannya untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke Jerusalem. Pengakuan Trump terhadap Yerusalem ini merupakan diplomasi provokatif pertama dalam sejarah kepresidenan AS.

Langkah Trump pun  ditolak sejumlah negara di Timur Tengah, Uni Eropa dan beberapa negara NATO. Sebanyak 128 negara menentang keputusan Trump dan mendesak agar dia menarik pengakuannya atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Namun, bukan Trump namanya kalau tidak konfrontatif. Penolakkan itu bukan membuat Trump takut, tapi dia justru mengancam negara-negara yang menolak kebijakannya soal Yerusalem. Trump menegaskan, AS akan memutus bantuan keuangan kepada negara-negara yang mendukung resolusi PBB yang menolak kebijakan Trump soal status Yerusalem.

Kebijakan Trump soal Jerusalem, hanya mendapat dukungan sembilan negara dan 35 negara lainnya menyatakan abstain. Sedangkan, 21 negara lainya tidak memberikan suara. Di antara negara yang menyatakan abstain dalam pemungutan suara Resolusi PBB yaitu Australia, Kanada, Meksiko, Argentina, Kolombia, Republik Ceko, Hongaria, Polandia, Filipina, Rwanda, Uganda dan Sudan Selatan. Sedangkan negara-negara yang menolak resolusi PBB ialah Guatemala, Honduras, Kepulauan Marshall, Mikronesia, Palau, Nauru dan Togo, Amerika Serikat dan Israel.

BACA JUGA: BUKU 'Secangkir Opini Jakarta dan Ahok' TELAH TERBIT, MILIKI SEGERA!

Menyangkut pengakuan sepihak soal Yerusalem oleh Trump, Presiden Indonesia, Joko Widodo, menyampaikan pernyataan bahwa langkah Presiden AS, Donald Trump, sangat berbahaya. "Itu bisa mengancam stabilitas dunia," dalam pernyataan resmi Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, pada Kamis, 7 Desember 2017 lalu.

Dibalik Pengakuan Yerusalem

Dengan adanya diplomasi provokatif Trump, maka rencana perdamaian dan perundingan Israel-Palestina menjadi terbengkalai. Bahkan, kebijakan Trump ini justru menciptakan konflik politik di negara-negara Timur Tengah antara yang pro dan kontra terhadap kebijakan Trump.

Arab Saudi sebagai salah satu leader di kawasan Timur Tengah, justru nampak berpihak kepada Trump. Harapan Arab, kepada AS ialah agar Trump bisa mendukungnya dalam upaya menghadapi musuh bebuyutannya yaitu Iran. Otomatis dengan AS mendukung Arab, maka Israel pun akan ikut bersekutu dengan AS untuk menghadapi Teheran. Syarat yang dajukan AS kepada Arab sangat berat yaitu Arab Saudi harus membujuk semua negara di Timur Tengah mendukung kebijakan Trump soal Yerusalem.

Hal lain yang juga terkait dengan kebijakan Yerusalem ini ialah Trump ingin keluar dari tekanan oposisi domestik yang tidak menyukainya. Bahkan, sejumlah pejabat di gedung putih, termasuk Menlu, Rex Tillerson, juga terlibat konflik dengan kebijakan politik Trump terhadap Timur Tengah dan Korea Utara.

Akibat dari kebijakan Trump ini, dalam tiga tahun ke depan konflik antarsesama negara Timur Tengah masih akan terus berlangsung. Sedangkan untuk kawasan Asia, khususnya Korea Utara, masih bisa dikendalikan dengan adanya peran China dan Rusia.

Diplomasi provokatif Trump soal Yerusalem sangat memperburuk citra AS, di mata dunia, khususnya umat muslim. Sebelum menjadi Presiden AS, dalam setiap kampanyenya, Trump pernah secara terbuka menyebut umat Islam sebagai gerombolan teroris yang dinilainya merusak dunia. Bahkan, ketika itu, Trump juga diduga kuat mendukung pendanaan federal untuk melegalkan aborsi melalui institusi Planned Parrenthood (Daily Mail 14/02/2016).

Saat debat antar kandidat capres AS, Trump juga tidak segan-segan melakukan charracter assasination dan black campaign terhadap pesaingnya Hillary Clinton. Warga AS sendiri, menyebut Trump sebagai tokoh yang anti Islam dan anti migran. Ini terlihat dari sejumlah kebijakan politiknya dengan negara-negara Islam yang konfrontatif.

Di Indonesia, sikap dan perilaku Trump juga memunculkan antipati yang sangat kuat dari rakyat Indonesia, terutama dari kaum muslim. Sejak Trump menjadi Presiden AS, terjadi sejumlah perubahan besar dalam konstelasi komunikasi politik dunia, salah satunya soal statusquo Yerusalem. Bahkan, sebagian analis mengkhawatirkan bahwa semua kebijakan yang dikeluarkan Trump, mungkin bisa merusak hubungan politik dan keagamaan antarnegara di dunia.

Salam sruput teh tubruk bro…[ Wawan Kuswandi ]

www.facebook.com/INDONESIAComment/

plus.google.com/+INDONESIAComment

Indocomm.blogspot.com

#INDONESIAComment

Deenwawan.photogallery.com

Friday, July 10, 2020

Tren Korupsi Berjamaah Pejabat Negara, Hukuman Mati Solusi Praktis

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan empat orang tersangka, yaitu Wali Kota Kendari Adriatma Dwi Putra, Asrun ayah Adriatma yang juga calon gubernur Sulawesi Tenggara periode 2018-2023, Direktur Utama PT Sarana Bangun Nusantara, Hasmun Hamzah sebagai pemberi suap serta satu orang dari pihak swasta, Fatmawaty Faqih, mantan Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Kendari.

Penetapan ke empat tersangka dilakukan, setelah penyidik melakukan gelar perkara Rabu (28/2/2018) lalu. "Diduga Wali Kota Kendari dan beberapa pihak menerima hadiah pengadaan barang dan jasa tahun 2017-2018," kata Pimpinan KPK, Basaria Panjaitan. Pemberian suap itu juga terkait dengan kepentingan Asrun untuk bertarung dalam Pilkada 2017. KPK menduga nilai suap dalam kasus ini mencapai Rp2,8 miliar. [https://nasional.kompas.com/read/2018/03/01/15455271/kpk-tetapkan-tersangka-wali-kota-kendari-dan-ayahnya-cagub-sultra]

Lagi-lagi pejabat negara korupsi. Sebelumnya, KPK juga telah menetapkan Gubernur Jambi, Zumi Zola Zulkilfi sebagai tersangka, karena diduga melakukan korupsi sebesar Rp6 miliar dalam beberapa proyek di Jambi. Pejabat lainnya yang juga dicokok KPK dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) ialah Bupati Jombang, Nyono Suharli Wihandoko, yang diduga ?Memeras? Uang dari 34 puskesmas di Jombang, sejak bulan Juni hingga Desember 2017, yang nilainya mencapai Rp434 juta.

BACA JUGA: Mau Tahu Sembilan Indikator yang Mendukung Ahok? Baca Ebook ini

Sejumlah kasus di atas masuk dalam deretan panjang skandal korupsi pejabat negara di Indonesia. Menurut information KPK, tahun 2014, pejabat negara yang paling banyak merampok uang rakyat adalah anggota DPR maupun DPRD yaitu sebanyak 23 orang. Para kepala daerah dari tingkat gubernur hingga wali kota atau bupati berjumlah 10 orang. Pejabat eselon I, II, dan III yang korupsi berjumlah 10 orang. Dari kalangan swasta yang terlibat korupsi mencapai 28 orang.

Umumnya, modus operandi korupsi para pejabat itu dalam bentuk penyuapan. Tahun 2014 ada 20 kasus penyuapan, tahun 2015 naik menjadi 38 kasus. Tahun 2016 naik lagi menjadi seventy nine kasus dan di tahun 2017 hingga 30 September lalu, sudah mencapai fifty five kasus penyuapan.

Aktivitas korupsi pejabat negara di negeri ini semakin mengerikan. Mereka bukan hanya menyasar ?Fulus? Negara, tetapi juga pundi-pundi uang yang bercokol di sektor korporasi (swasta). Jaringan korupsi antara pejabat negara dan kalangan swasta juga semakin kuat. Menjamurnya kasus korupsi di Indonesia bagaikan air laut yang tak pernah surut. Bahkan, gelombang korupsi pejabat negara secara berjamaah semakin jadi tren di Indonesia.

Mengapa para pejabat negara semakin berani melakukan korupsi? Pertanyaan ini layak menjadi bahan renungan bersama. Seabrek sanksi hukum untuk para koruptor sudah diterapkan. Tapi, faktanya korupsi semakin menggila. Sanksi hukum tidak mampu membuat jera koruptor.

Tak beda jauh dengan kejahatan narkoba yang bisa merusak sel-sel generasi penerus bangsa, kejahatan korupsi pun bisa mengakibatkan kerusakan yang sama. Kejahatan korupsi bisa merusak moral dan intellectual manusia Indonesia secara massal. Negara bangkrut karena dirampok bangsa sendiri dengan berbagai dalih kerakyatan dan regulasi.

Di sisi lain, sanksi hukum untuk penjahat narkoba sudah selangkah lebih maju dengan menerapkan hukuman mati. Sedangkan, sanksi hukum untuk para koruptor masih berkutat dengan berbagai embel-embel administrasi, diantaranya menyangkut reputation koruptor sebagai pejabat negara. Ujung-ujungnya, bila koruptor ingin ditangkap atau dihukum, harus meminta izin dan persetujuan presiden atau pimpinan lembaga tinggi negara lainnya. Akhirnya, jaringan korupsi antara pejabat negara dan pihak swasta terus tumbuh dan berkembang secara terselubung.

Sesungguhnya, ada satu jalan pintas terbaik untuk memberantas kejahatan korupsi di Indonesia yaitu dengan cara menerapkan hukuman mati seperti dalam kasus narkoba. Solusi ini memang ekstrim. Pelaksanaan hukuman mati di Indonesia memang masih menimbulkan seasoned dan kontra. Sebenarnya, hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Tingginya tindak pidana korupsi di Indonesia dalam 15 tahun terakhir ini, telah membuktikan bahwa penjara bukanlah tempat efektif untuk menurunkan angka korupsi. Skandal korupsi justru terus mengalami peningkatan di berbagai sektor.

Kejahatan korupsi jelas bersifat luar biasa, maka penanganannya pun harus dengan hukum yang ekstra luar biasa. Dalam UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, terdapat dimensi hukuman mati. Hukuman mati juga terdapat dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mayoritas masyarakat Indonesia juga menilai bahwa hukuman mati merupakan cara yang tepat untuk menekan tingginya kasus kejahatan korupsi.

Selain menerapkan hukuman mati bagi para koruptor, negara juga berkewajiban melakukan pembenahan sistem hukum. Dalam sejarah, hukuman mati juga banyak diterapkan kepada tindak kejahatan yang bermacam-macam, termasuk kasus korupsi. Di abad 18 SM, Raja Hammurabi dari Babilonia membuat perintah hukuman mati untuk 25 jenis tindakan kriminal. Hukuman mati juga dilakukan di Mesir pada abad ke sixteen SM yaitu seorang bangsawan dihukum mati karena telah melakukan kegiatan perdukunan.

Sejumlah pakar hukum Internasional menilai, penerapan hukuman mati dapat menghemat biaya pengeluaran negara daripada memenjarakan penjahat seumur hidup. Singapura, negara yang pernah menjadi contoh penerapan hukuman mati, telah menunjukkan angka penurunan tingkat kriminalitasnya secara signifikan, termasuk menurunnya tindak pidana korupsi.

Salam sruput teh tubruk bro…[Wawan Kuswandi ]

www.Fb.Com/INDONESIAComment/

plus.Google.Com/ INDONESIAComment

Indocomm.Blogspot.Com

#INDONESIAComment

Deenwawan.Photogallery.Com

Filosofi Politik Dibalik Latihan Tinju Presiden Jokowi

Dalam kesempatan itu, Presiden Jokowi mengungkapkan alasannya berlatih tinju. Ia mengaku ingin menjaga kebugaran. Olahraga joging, bersepeda dan memanah dipilihnya, karena katanya, cepat mengeluarkan keringat. “Setiap hari ketat mengikuti jadwal yang serius-serius terus. Kalau kita lupa olahraga, kesehatan kita bisa drop," ujar Jokowi di Alun-alun Lamongan, Jawa Timur, Kamis, 8 Maret 2018 lalu.

Latihan tinju yang dilakukan Jokowi yang kabarnya sudah berjalan empat bulan, menarik perhatian publik dan menjadi viral di sosial media. Sejumlah pihak menilai, latihan tinju yang dilakukan mantan Gubernur DKI ini, ada kaitannya dengan suhu politik yang semakin memanas menjelang pemilihan presiden 2019 mendatang. Pertanyaan menariknya ialah benarkah latihan tinju yang dilakoni Presiden Jokowi, terkait dengan situasi politik nasional?

Menurut saya, ada landasan filosofis mengapa Presiden Jokowi melakukan latihan tinju secara rutin. Secara kasat mata, olahraga apapun, termasuk tinju pasti mengeluarkan keringat dan akan membuat tubuh menjadi sehat, segar dan bugar. Namun, dibalik latihan tinju Presiden Jokowi, saya melihat ada empat pesan politik yang ingin disampaikannya kepada bangsa ini.

Pertama, Presiden Jokowi ingin menunjukkan melalui bahasa olahraga bahwa dalam politik itu, pasti ada kawan dan lawan. Dengan kata lain, Jokowi ingin memiliki lawan tanding dalam pilpres 2019. Artinya, Jokowi tidak ingin melawan kotak kosong atau menjadi calon tunggal, walaupun hal itu dibolehkan dalam UU. Makna yang tersirat dalam pesan ini ialah Jokowi ingin menegaskan bahwa biarkan rakyat memilih calon presidennya secara bebas dan bertanggungjawab.

BACA JUGA: Mau Tahu Masa Depan Ahok Usai Keluar Dari Penjara? Baca Buku ini

Kedua, Presiden Jokowi paham betul bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan negara. Rakyat tentu sangat membutuhkan sejumlah calon presiden (bukan calon tunggal) yang berkualitas untuk mereka dukung. Analogi yang pas untuk poin kedua ini ialah ibarat penonton yang sedang menyaksikan pertandingan tinju. Mereka bebas untuk mendukung jagonya masing-masing

Ketiga, Presiden Jokowi secara tegas menyimbolkan bahwa dalam setiap pertandingan olahraga apapun, baik si atlet, penonton dan juga wasit harus menjunjung tinggi sportivitas dan fair play. Jangan ada perbuatan curang yang tujuannya ingin memenangkan pertarungan, tetapi dengan cara-cara yang tidak sehat. Analoginya ialah dua atau tiga capres yang akan bertarung tahun 2019, harus bersikap dan berperilaku jujur, dan tidak saling menjatuhkan antarsesama capres.

Keempat, Presiden Jokowi dan tentunya juga semua rakyat Indonesia menginginkan agar rakyat Indonesia mau menerima kekalahan dengan lapang dada dan menyambut kemenangan dengan rendah hati, atas hasil akhir pilpres 2019. Analoginya ialah KPU dan Bawaslu berperan sebagai ‘wasit’ dalam pilpres 2019. Presiden Jokowi dan juga rakyat menginginkan agar para ‘wasit’ ini dapat melaksanakan tugasnya secara profesional, bertanggungjawab dan transparan, sehingga hasil keputusan akhirnya soal pemenang pilpres 2019 dapat diterima dengan baik oleh rakyat.

Nah, itulah empat landasan filosofis dibalik latihan tinju Presiden Jokowi. Anda boleh percaya, boleh juga tidak. Saya yakin Anda pun memiliki analisis tersendiri soal ini.

Salam sruput teh tubruk bro…[Wawan Kuswandi]

www.facebook.com/INDONESIAComment/

plus.google.com/+INDONESIAComment

Indocomm.blogspot.com

#INDONESIAComment

Deenwawan.photogallery.com

Jokowi Calon Tunggal? Indonesia Krisis Capres dan Kegagalan Kaderisasi Parpol

Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menyebutkan bahwa Presiden Jokowi adalah calon terkuat dalam pilpers 2019. Buktinya, hasil survey LSI menyebutkan bahwa sebanyak 70 persen rakyat puas dengan kinerja Jokowi.

Sampai saat ini, hanya ada tiga nama yang beredar yang disebut-sebut bisa menyaingi Jokowi, mereka ialah Gatot Nurmantyo, Prabowo Subianto dan Agus Harimurti Yudhoyono. Namun, seperti sudah disampaikan di atas, elektabilitas mereka masih sangat rendah di mata rakyat.

BACA JUGA: Filosofi Politik Dibalik Latihan Tinju Presiden Jokowi

Pertanyaan menariknya ialah mengapa sejumlah partai politik (parpol) tidak memiliki ?Petarung? Yang mampu mengimbangi elektabilitas Jokowi? Jawaban sederhananya ialah Indonesia memang sedang mengalami krisis capres. Mengapa ini bisa terjadi? Lagi-lagi jawaban sederhananya adalah sejumlah parpol koalisi pendukung pemerintah maupun parpol koalisi oposisi (parpol yang berseberangan dengan pemerintah), gagal overall dalam melakukan kaderisasi calon pemimpin nasional.

Kegagalan kaderisasi ini terjadi akibat pola rekrutmen parpol yang tidak berkualitas. Artinya parpol tidak memiliki standarisasi yang baik dalam merekrut kadernya, misalnya soal daya intelektual kader, integritas moral dan mental kader serta hubungan sosial komprehensif kader terhadap masyarakat.

Sesungguhnya, parpol wajib menciptakan dan menyiapkan kader sesuai standarisasi diatas untuk jangka waktu, minimum lima tahun dan maksimal sepuluh tahun. Parpol harus terus-menerus secara konsisten mempromosikan kadernya sesuai standar di atas kepada publik, sehingga rakyat punya pilihan baru terhadap calon pemimpin nasional.

BACA JUGA: Mau Tahu Sembilan Indikator yang Mendukung Ahok? Baca Ebook ini

Hal lainnnya lagi yang juga tidak kalah pentingnya ialah platform sejumlah partai banyak yang tidak jelas dan terarah untuk membangun bangsa ini secara politik. Justru yang terjadi ialah sejumlah parpol koalisi pendukung pemerintah maupun parpol koalisi oposisi, lebih mementingkan meraih kekuasaan semata dengan cara-cara yang tidak mencerdaskan dan menyehatkan kehidupan berpolitik rakyat.

Mungkin contoh yang paling mendekati soal kasus kehidupan politik yang tidak menyehatkan rakyat ialah seperti mahar politik dan penyebaran fitnah serta hoax di sosial media yang tujuannya untuk menjatuhkan kredibilitas pemerintah. Kalau ini terus terjadi, maka sampai kapan rakyat akan pintar dan cerdas dalam berpolitik? Mari kita renungkan bareng-bareng.

Tahun 2019 merupakan momentum politik yang sangat tepat bagi semua parpol untuk sesegera mungkin mengedukasi ?Kesehatan? Politik rakyat. Selain itu, parpol juga harus secepatnya mengemban tugas ?Mulia? Mengkader manusia-manusia Indonesia untuk menjadi pemimpin nasional yang berkualitas secara moral, intelektual dan sosial. Parpol tak perlu lagi saling sikut dalam merebut kekuasaan hanya untuk kepentingannya sendiri yang pada akhirnya bisa menimbulkan konflik nasional. Berpolitik yang berpihak kepada bangsa dan negara lebih utama, dibandingkan berpolitik hanya sekadar merebut kekuasaan dengan mengatasnamakan rakyat.

Salam sruput teh tubruk bro…[Wawan Kuswandi]

www.Fb.Com/INDONESIAComment/

plus.Google.Com/ INDONESIAComment

Indocomm.Blogspot.Com

#INDONESIAComment

Deenwawan.Photogallery.Com

Thursday, July 9, 2020

Antara Golput dan Calon Tunggal di Pilpres 2019, Sebuah Otokritik Parpol

Dalam pandangan saya, semestinya parpol tidak perlu tergesa-gesa dalam mengomentari isu calon tunggal di pilpres 2019. Mengapa? Karena proses pencalonan capres dan cawapres 2019 masih lama dan setiap parpol masih punya waktu untuk melakukan konsolidasi dan koalisi untuk menentukan ?Petarungnya? Dalam menghadapi Jokowi. Pertanyaannya ialah mengapa parpol pendukung pemerintah sulit mendapatkan orang yang tepat untuk dijadikan capres menyaingi Jokowi, sehingga akhirnya mereka mengusung Jokowi? Hal yang sama juga terjadi pada parpol koalisi yang tidak mempunyai figur yang pas untuk ?Diduelkan? Dengan Jokowi di pilpres 2019.

BACA JUGA: Jokowi Calon Tunggal? Indonesia Krisis Capres dan Kegagalan Kaderisasi Parpol

Seperti sudah saya ulas dalam tulisan sebelumnya ‘Jokowi Calon Tunggal? Indonesia Krisis Capres dan Kegagalan Kaderasi Parpol’ , faktanya, parpol memang mengalami krisis akut dalam kaderisasi sehingga gagal menemukan kadernya yang memiliki karakter dan kualitas mumpuni untuk memimpin bangsa ini. Akibat krisis ini, maka demokrasi kita mengalami stagnasi yang sangat memprihatinkan.

Bayangkan saja, dari jumlah penduduk yang mencapai 260 juta orang lebih, tak ada satupun calon yang bisa bersaing dengan Jokowi. Benarkah demikian? Bisa benar, bisa juga tidak. Persoalan utamanya ialah karena parpol gagal melakukan kaderisasi serta platform politik parpol yang tidak jelas dan terarah.

Politik bagi sebagian parpol hanya menjadi tujuan untuk merebut kekuasaan. Padahal, sesungguhnya politik ialah bagaimana sebuah bangsa, melalui parpol bisa menciptakan pemimpin bangsa yang memenuhi unsur kualitas kebangsaan, kerakyatan dan kenegarawanan untuk kepentingan bangsa dan negara. Politik itu bukan hanya kepentingan merebut kekuasaan, karena dalam politik itu bukan hanya parpol yang punya kepentingan, tetapi juga rakyat secara keseluruhan.

BACA JUGA: Filosofi Politik Dibalik Latihan Tinju Presiden Jokowi

Ada dua pilihan yang mungkin terjadi bila Jokowi menjadi calon tunggal, yaitu rakyat yang suka akan mendukung dan memilih Jokowi dan yang tidak tidak suka, berpeluang akan menjadi golput. Munculnya golput ini merupakan kesalahan overall parpol, karena mereka tidak mampu memberikan alternatif tokoh baru untuk menjadi calon presiden dan bertarung dengan Jokowi. Artinya, rakyat tidak bisa disalahan, jika golput ada dalam pilpres 2019, karena golput pun merupakan bentuk partisipasi politik rakyat. Keberadaan golput jelas menjadi otokritik bagi parpol pendukung pemerintah maupun parpol oposisi.

Pertanyaan pentingnya ialah apakah sudah sedemikian pentingnya sehingga rakyat harus golput? Pertanyaan ini tentu sangat sulit dijawab, bila dikaitkan dengan kepentingan politik man or woman atau golongan tertentu, karena mereka pasti mempunyai ideologi dan tujuan khusus yang bersifat inner dalam kelompoknya, ketika terlibat dalam kancah politik praktis.

Namun, pertanyaan di atas menjadi sangat mudah dijawab, bila dikaitkan dengan kepentingan kerakyatan, kebangsaan dan kenegaraan. Otomatis rakyat akan menghindari golput dan menyalurkan aspirasinya pada tokoh capres yang ada. Kalau ini terjadi, maka rakyat dan bangsa ini, semakin memahami pentingnya partisipasi politik dalam sebuah negara demokrasi.

Salam sruput teh tubruk bro…[Wawan Kuswandi ]

BACA JUGA:BUKU 'Secangkir Opini Jakarta dan Ahok' TELAH TERBIT, MILIKI SEGERA!

Www.Fb.Com/INDONESIAComment/

plus.Google.Com/ INDONESIAComment

Indocomm.Blogspot.Com

#INDONESIAComment

Deenwawan.Photogallery.Com

Amien Versus Luhut: Tontonan “Politik Opera Sabun”

Perdebatan sengit antara Amien Rais dan Luhut Binsar Pandjaitan yang diekspos sejumlah media massa, menarik perhatian publik dan menjadi viral di masyarakat. Dua tokoh yang sama-sama dikenal memiliki andil bagi republik ini, semakin membuat rakyat bertanya-tanya, ada apa dengan moral manusia Indonesia?

Rakyat yang selama ini adem-ayem saja di tengah polemik politik jelang pilpres 2019, disuguhkan tontonan ‘opera sabun’ yang sangat memalukan. Sungguh! Hampir semua politisi dan pejabat negara ini terjebak dalam pergulatan politik yang menjijikkan.

BACA JUGA :Amien Versus Luhut: Tontonan “Politik Opera Sabun”

Sebelumnya, Amien Rais mengkritik Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ia menyebut program bagi-bagi sertifikat yang dilakukan Jokowi merupakan suatu pembohongan. “Ini pengibulan, waspada bagi-bagi sertifikat, bagi tanah sekian hektar, tetapi ketika 74 persen negeri ini dimiliki kelompok tertentu seolah dibiarkan. Ini apa-apaan?” kata Amien, Minggu (18/3).

BACA JUGA:Selamat Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1940

Akhir-akhir ini, Amien Rais memang terlihat getol mengkritisi Jokowi, namun sayangnya kritik yang disampaikan oleh mantan Ketua MPR ini, tidak disertai oleh data serta fakta yang otentik. Terkesan, Amien berbicara serampangan dan emosional.

BACA JUGA:Sir William Henry Perkin Dan Eksklusivitas Warna Ungu

marah mendengar pernyataan Ketua Dewan Kehormatan parpol PAN Amien Rais. Dia membantah Presiden Joko Widodo disebut ‘ngibul’. “Ada senior kasih sertifikat ngibulin. Apa yang ngibulin. Sertifikat itu prosesnya panjang dan berbelit. Sekarang cepat dan banyak. Saya pikir kita nggak bisa asal ngomong. Dia 70 tahun, saya kan 70 tahun juga,” kata Luhut di Gedung BPK, Senin (19/3) lalu.

BACA JUGA:Antara Golput dan Calon Tunggal di Pilpres 2019, Sebuah Otokritik Parpol

Menurut Luhut, bagi-bagi sertifikat tanah memang salah satu program unggulan pemerintahan Jokowi-JK. Bahkan, Jokowi menargetkan jutaan sertifikat selesai dalam periodenya, sehingga tak ada lagi sengketa tanah yang marak terjadi di daerah.

Luhut pun mengancam akan membongkar dosa politik Amien Rais. “Kau merasa paling bersih, kamu boleh ngomong. Tapi dosamu banyak juga kok. Udahlah, diam saja lah. Tapi jangan main-main. Kita bisa cari dosamu sampai dapat,” ancam Luhut untuk Amien Rais.

BACA JUGA:Jokowi Calon Tunggal? Indonesia Krisis Capres dan Kegagalan Kaderisasi Parpol

Panasnya polemik politik kedua tokoh di atas, tentu saja akan membuat posisi rakyat sebagai salah satu objek politik di pilpres 2019 menjadi semakin tersandera. Amien Rais maupun Luhut Binsar Pandjaitan, tidak memberikan contoh yang sehat dalam berwacana politik. Sebenarnya, apa yang mereka inginkan, sampai-sampai keduanya begitu irasional dalam mengeluarkan pernyataan.

Rakyat tidak butuh perdebatan politik. Rakyat tidak butuh tontonan ‘opera sabun’ yang bisa membuat bangsa ini menjadi semakin krodit. Kebutuhan bangsa hanya satu yaitu negara ini tetap damai, aman, nyaman secara lahir dan bathin, agar rakyat bisa berpartisipasi aktif dalam pilpres 2019 mendatang.

BACA JUGA: Filosofi Politik Dibalik Latihan Tinju Presiden Jokowi

Sedikit pun tak ada yang menarik dari polemik politik Amien Rais dan Luhut Binsar Pandjaitan. Justru yang ada adalah konflik wacana politik berkepanjangan yang akan menyedot energi bangsa ini.

Rakyat berharap, proses suksesi kepemimpinan nasional tahun 2019 mendatang, bukan menjadi sarana untuk saling menjatuhkan, menjelekkan atau membongkar aib antarsesama lawan politik. Rakyat sangat berharap, para pejabat dan politisi bisa semakin dewasa dalam berpolitik dengan cara yang santun dan beradab.

Secara pribadi, saya sangat mendambakan para politisi dan tokoh bangsa ini mau merefleksi diri bahwa masih ada yang lebih penting selain persoalan suksesi kepemimpinan nasional 2019, yaitu membawa bangsa ini untuk menjadi lebih beradab, bermoral, damai dan sejahtera secara lahir maupun bathin itu saja. Titik.

Artikel ini sudah dimuat di GEOTIMES.co.id Kamis 22 Maret 2018

https://geotimes.co.id/opini/amien-versus-luhut-tontonan-politik-opera-sabun/

BACA JUGA:Mau Tahu Masa Depan Ahok Usai Keluar Dari Penjara? Baca Buku ini

www.facebook.com/INDONESIAComment/

plus.google.com/+INDONESIAComment

Indocomm.blogspot.com

#INDONESIAComment

Deenwawan.photogallery.com

Jujur Saja, Prabowo Bukan Lawan Sepadan Jokowi

Kalau saja bangsa ini berani untuk berkata jujur walaupun pahit, maka kebenaran akan terungkap secara jelas dan terang-benderang.

Menyangkut pilpres 2019 mendatang, jujur saja, Prabowo Subianto bukanlah lawan sepadan Joko Widodo. Terlalu banyak faktor yang bisa menjadi ukuran bahwa Prabowo memang belum saatnya melawan Jokowi. Benarkah seperti itu?

Untuk menjawab pertanyaan diatas, saya akan mencoba melakukan analisis sederhana sehingga Anda bisa dengan mudah melihat titik kekuatan Jokowi, sekaligus titik kelemahan Prabowo.

BACA JUGA: Indonesia Bubar 2030, Ekspresi Panik Prabowo?

Pertama, elektabilitas Jokowi sejak Februari 2018 lalu, selalu stabil bahkan cenderung naik. Lembaga Populi Center melaporkan elektabilitas Presiden Jokowi masih unggul atas Prabowo Subianto. Secara pinnacle of mind, elektabilitas Jokowi berada pada angka fifty two,eight persen. Kemudian Prabowo sebesar 15,four persen. ?Tren dari empat survei terakhir, Jokowi masih berkutat di angka 50 persenan,? Kata Peneliti Populi Center Hartanto Rosojati di kantornya, Jakarta, Rabu (28/2/2018) lalu. Pada Desember 2017, elektabilitas Jokowi berada pada angka fifty four,nine persen. Sedangkan Prabowo masih 18,9 persen.

BACA JUGA:PK Ahok Ditolak MA: Antara Keadilan Dan Ketidakadilan Hukum

Bahkan, sejumlah lembaga survei menunjukan bahwa elektabilitas Prabowo mengalami penurunan yang signifikan dan cenderung terjadi tren negatif. Jika melihat hasil survei, tipis harapan Prabowo untuk mengalahkan Jokowi di pilpres 2019.

Kedua, akhir-ahkir ini, Prabowo terus mengeluarkan pernyataan provokatif ke hadapan publik seperti isi pidatonya yang menyebutkan bahwa Indonesia akan bubar tahun 2030. Kemudian ucapannya tentang adanya elit politik yang goblok dan maling. Di lain pihak, Jokowi ketika dicalonkan menjadi presiden oleh PDIP tahun 2014 lalu, tidak pernah mengeluarkan pernyataan yang bersifat provokatif.

BACA JUGA: Amien Versus Luhut: Tontonan ?Politik Opera Sabun?

Ketiga, selama satu periode kepemimpinannya, Jokowi sudah banyak menghasilkan karya pembangunan bagi negeri ini, seperti pembangunan sejumlah infrastruktur di wilayah Indonesia bagian timur.

Keempat, Jokowi selalu menanggapi semua kritikan yang disampaikan oleh lawan-lawan politiknya, termasuk Prabowo dengan tenang, santai dan adem ayem. Jokowi cenderung merespon kritikan itu dengan program kerja yang semakin intens untuk kepentingan bangsa.

Kelima, dalam filsafat Tiongkok, kepribadian dan karakter Jokowi memiliki tiga unsur kehidupan yaitu unsur air yang menyegarkan, unsur tanah yang menghidupkan serta unsur udara yang menyejukkan. Sedangkan Prabowo lebih didominasi oleh unsur api yang memanaskan.

Nah dari kelima faktor di atas, jelas Jokowi memiliki keunggulan tinggi. Prabowo bisa saja menyamai keunggulan Jokowi, namun tentu saja dibutuhan perjuangan yang ekstra berat, sportif dan jujur kepada rakyat.

Sampai detik ini, Jokowi selalu responsif terhadap kebutuhan rakyat. Jokowi pun dekat dengan berbagai kalangan dan berusaha membangun negara ini dengan pendekatan bahwa perbedaan SARA menjadi salah satu kekuatan dan modal bangsa Indonesia untuk maju dan sejahtera.

Mudah-mudahan Anda paham dengan analisis sederhana yang saya sebutkan diatas. Namun, walaupun demikian, artikel ini hanyalah sebuah analisis yang bersifat pribadi dan saya tidak memiliki kepentingan apapun dalam politik. Jadi, Anda boleh percaya, boleh juga tidak. Semua kebenaran analisis ini akan segera terjawab oleh waktu.

Salam sruput teh tubruk bro…[ Wawan Kuswandi ]

BACA JUGA: BUKU 'Secangkir Opini Jakarta dan Ahok' TELAH TERBIT, MILIKI SEGERA!

Www.Facebook.Com/INDONESIAComment/

plus.Google.Com/ INDONESIAComment

Indocomm.Blogspot.Com

#INDONESIAComment

Deenwawan.Photogallery.Com