Dalam pandangan saya, sesungguhnya agama dan Tuhan tidak saling mengalahkan. Agama juga tidak pernah mengambil hak-hak Tuhan sejak manusia meyakini adanya Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Justru manusialah yang mengubah dirinya menjadi sosok agama dalam versinya sendiri dan merampas hak-hak Tuhan dengan cara-cara kejam. Lantas, siapa sebenarnya manusia yang dengan seenaknya mengubah dirinya menjadi sosok agama dan ‘merampok’ hak-hak Tuhan secara sadis? Dialah tokoh agama yang dirasuki iblis keserakahan, kerakusan, kekayaan, popularitas dan kekuasaan.
Dalam terminologi agama mayoritas di Indonesia, tokoh agama memiliki banyak sebutan seperti ulama, ustadz, kiai dan habib. Menurut saya, sebutan ulama telah mengalami pergeseran makna yang sangat signifikan berdasarkan penilaian dari dua kelompok aliran yang ada dalam satu agama mayoritas di Indonesia.
Tuhan Dipaksa Menyingkir
Kelompok pertama memaknai ulama sebagai ahli agama yang wajib menyuarakan syariah agama tertentu di Indonesia berdasarkan keberadaan agama mayoritas di Indonesia. Umumnya, para ulama dari kelompok pertama ini menyuarakan aspirasi agamanya dengan cara-cara keras dan saklek, tanpa mempedulikan aspek kemanusiaan dan dasar-dasar hukum positif negara. Pokoknya, bagi ulama kelompok ini, agama harus mengalahkan segala aspek kehidupan manusia dan agama menjelma menjadi Tuhan (Tuhan dipaksa menyingkir dalam ajaran agama).
Sedangkan ulama dalam pandangan kelompok kedua ialah seseorang yang memiliki keahlian ilmu agama dan ‘keahlian sosial’ yang kemampuannya berada diatas rata-rata para penganut agama mayoritas. Para ulama di kelompok ini berperan bukan hanya sebagai tokoh agama, tetapi juga menjadi pemimpin sosial dalam memecahkan berbagai persoalan publik dan agama dengan cara-cara bijaksana.
Dalam etimologi bahasa Arab, kata ulama berarti orang yang mengetahui karena memiliki ilmu pengetahuan yang sangat tinggi dan luas. Makna sebenarnya dalam bahasa Arab, ulama adalah ilmuwan atau peneliti. Kemudian arti ulama mengalami perubahan setelah diserap ke dalam Bahasa Indonesia yang maknanya adalah sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama, khususnya Islam.
Sedangkan terminologi ulama menurut Wikipedia adalah seorang pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat, baik dalam masalah-masalah agama maupun masalah sehari hari, baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan.
Melihat fakta dua definisi ulama di atas, bila dikaitkan dengan perbedaan tafsir makna ulama oleh dua kelompok aliran penganut agama dalam satu agama mayoritas di Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar penganut agama mayoritas di Indonesia, belum atau bahkan tidak memahami makna kata ulama dengan baik dan benar dalam kehidupan sosialnya maupun dalam kehidupan keagamaannya.
Sesungguhnya, makna ulama bukan hanya sekadar memiliki keahlian agama, tetapi juga harus mempunyai pengetahuan umum yang tujuannya untuk menjawab semua problem sosial. Kelompok pertama yang memaknai ulama semata-mata sebagai ahli agama saja, sangat tidak tepat dan terlalu sempit sehingga ulama menjelma menjadi sosok agama yang kaku dan bersifat doktrin. Sedangkan kelompok kedua memaknai ulama bukan hanya sebagai orang yang ahli agama, tetapi juga mampu menunjukkan sikap dan perilaku baik dalam tataran norma umum, menyejukkan dan bijaksana dalam menyelesaikan berbagai persoalan sosial serta mampu menjaga dan menerima adanya perbedaan apapun dalam kehidupan bermasyarakat.
Kesimpulannya, ulama adalah seseorang yang memahami ilmu agama dan ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan yang berfungsi untuk menjaga kerukunan antarsesama makhluk ciptaan Tuhan yang beraneka ragam. Jadi ulama itu bukan agama, apalagi Tuhan.
Agama Sebagai Doktrin
Di sisi lain, menurut saya sekarang ini sebagian kecil penganut agama mayoritas di Indonesia sedang mengalami krisis iman akut. Hal itu terjadi karena hati nurani dan nalar mereka hanya menjadikan agama sebagai doktrin. Tuhan dan manusia tidak lagi punya arti. Dalam pandangan mereka agamalah yang penuh arti. Buktinya, banyak penganut agama mayoritas menjadikan agama sebagai ‘gelang karet’ yang bisa ditarik kekiri, kekanan, keatas, kebawah, kesamping, kedepan, kebelakang dan kemana saja sesuka-sukanya. Agama sudah menjadi ‘gelang karet’. Sebagaimana sifat karet yang mampu mengikat sebuah barang dengan kencang maupun kendor. Artinya sosok ulama dalam ruang lingkup penilaian agama mayoritas (seperti telah disebutkan di atas) bisa memfungsikan agama semaunya dan ulama tidak boleh dibantah dan harus menjadi kebenaran mutlak.
Dalam mengimplementasikan agama sesuka hatinya, tentu saja tokoh agama memiliki kepentingan-kepentingan tertentu (kepentingan kekuasaan, kepentingan politik, kepentingan agama, kepentingan popularitas, kepentingan ekonomi, kepentingan budaya, kepentingan sosial atau bisa jadi kepentingan teknologi dan informasi). Sejumlah tokoh agama yang berperan sebagai sosok agama dan memainkan dirinya sebagai Tuhan. Contohnya ialah seseorang yang mengaku ustadz atau ulama berani menghina dan mengecam penganut agama lain dan juga agamanya sendiri karena adanya perbedaan dalam menafsirkan ayat-ayat di kitab suci. Belum lagi ada sejumlah penganut agama mayoritas yang mengklaim dirinya sebagai ulama atau keturunan nabi.
Sesungguhnya para tokoh agama adalah pewaris nabi. Tapi sayangnya dakwah yang dilakukan mereka lebih banyak didominasi oleh ujaran kebencian terhadap orang-orang yang berbeda kepentingan maupun agama. Padahal ajaran agama itu menyejukkan. Akhirnya agama mayoritas dan para penganutnya di Indonesia berubah menjadi monster yang begitu mengerikan, menakutkan, kejam dan sadis.
Coba Anda tengok fakta lainnya, banyak pejabat negara dan anggota parlemen yang korupsi ‘gila-gilaan’ berlindung dibalik agama, segelintir oknum politisi yang diduga kuat ingin ‘membunuh’ pejabat KPK mengaku penganut agama, sejumlah oknum yang diduga merencanakan aksi makar mengatasnamakan agama, aksi persekusi sekelompok ormas lantang menyebut-nyebut agama, aksi demo politik mengatasnamakan bela agama, sekelompok orang ingin mengganti Pancasila karena dinilai tidak sesuai dengan ajaran agama, menebar fitnah dan hoaks selalu menggunakan jargon agama, politisi rakus dan serakah rajin meneriakkan agama, perbuatan intoleransi sekelompok orang selalu membawa-bawa agama. Pokoknya semua dikaitkan dengan agama. Akhirnya, agama di Indonesia menjadi bahan ‘lelucon’ agama lain sekaligus menjadi alat untuk membunuh yang paling ampuh.
Penganut agama mayoritas di Indonesia menjadi begitu hina derajatnya dalam agama itu sendiri. Perlahan tetapi pasti, bila agama terus-menerus dijadikan sebagai senjata mematikan, maka agama bukan hanya kehilangan TUHAN, tetapi juga kehilangan nilai-nilai KASIH SAYANG dalam pergaulan sosial.
LIHAT JUGA:
Indocomm.blogspot.co.id
www.facebook.com/INDONESIAComment/plus.google.com/+INDONESIAComment
@INDONESIAComment
@wawanku86931157
@INDONESIAComment
Deenwawan.photogallery.com
Foto: Istimewa