Panasnya kasus mega korupsi proyek e-KTP semakin membara. Perhatian separuh bangsa ini tersedot untuk mengikuti proses persidangan tindak pidana korupsi yang melibatkan mantan Ketua DPR RI dan Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto. Bahkan, baru-baru ini, Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melaporkan advokat Firman Wijaya ke polisi karena sang pengacara menyebut nama presiden ke-6 RI itu, ikut mengintervensi proyek e-KTP.
Berdasarkan keterangan saksi, menurut Firman, proyek e-KTP dikuasai pemenang pemilu pada tahun 2009 yakni Partai Demokrat dan Susilo Bambang Yudhoyono. Adapun, saksi yang dimaksud Firman adalah mantan politisi Partai Demokrat, Mirwan Amir.
Wajar saja, kalau bos besar Cikeas berang terhadap Firman Wijaya. Sejumlah oknum yang diduga kuat terlibat dalam kasus e-KTP, memang masih terus ditelusuri KPK. Mungkin saja KPK sudah memegang beberapa nama yang siap dicokok. Persoalannya hanya tinggal menunggu waktu yang tepat, itu saja.
Terkait laporan SBY ke polisi, publik perlu mencermati dengan teliti dan hati-hati. Mungkin saja apa yang disampaikan Firman itu tidak benar, maka dia dituduh melakukan fitnah oleh SBY. Namun, laporan SBY ke polisi, bisa menjadi bumerang bagi ayah Ibas ini, kalau memang Firman benar-benar memiliki bukti kuat menyangkut dugaan keterlibatan SBY dalam proyek e-KTP, berdasarkan keterangan saksi Mirwan Amir. Artinya, pihak pengadilan dan KPK perlu mendalami apa yang disampaikan Firman dan Mirwan. Di sisi lain, SBY juga harus mengungkapkan bukti-bukti yang kuat kepada KPK dan siap menjadi saksi di pengadilan bila diperlukan, untuk membuktikan bahwa dirinya memang tidak tersangkut kasus korupsi e-KTP
Dalam pandangan saya, seharusnya SBY tidak perlu emosional dan reaksional terhadap apa yang disampaikan Firman Wijaya. Akan lebih baik, SBY tetap tenang sambil menganalisis jalannya proses persidangan tindak pidana korupsi e-KTP yang disampaikan para saksi maupun tersangka. Dengan demikian, SBY tidak menciptakan kegaduhan baru dalam proses persidangan e-KTP
Kasus korupsi e-KTP ini, tampaknya sudah menjadi skala prioritas KPK untuk segera dituntaskan. Sejumlah mantan anggota DPR RI Komisi 2, beberapa pejabat negara dan anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR, disinyalir banyak yang ikut terlibat kasus ini. Bahkan, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, diduga ikut terlibat. Proses persidangan pun masih terus berlangsung. Bukan tidak mungkin akan ada tersangka baru.
Sebelumnya, sejumlah mantan anggota Komisi 2 DPR RI dan anggota Banggar secara simultan dan berjamaah membantah dituding ikut menikmati dana proyek e-KTP. Bahkan, pernah dalam sebuah berita disebutkan bahwa salah satu Wakil Ketua DPR RI, merasa tersinggung dengan hasil survei lembaga Internasional yang melaporkan bahwa DPR RI adalah lembaga yang paling korup di Indonesia, saat itu kasus korupsi e-KTP yang berhasil dibongkar KPK, sedang ramai dibicarakan publik
Saya masih ingat betul, waktu masih kuliah ada ungkapan ‘maling teriak maling’. Di dunia mana pun maling ngak akan pernah ngaku. Kalau maling ngaku, penjara penuh. Bila penjara penuh, akibatnya negara ikut repot ngurusin biaya makan dan minum mereka selama di penjara. Tapi, Itu hanya berlaku buat napi atau maling kroco.
Kalau koruptor alias maling kelas kakap, mungkin saja (mudah-mudahan saya salah) penjaranya nikmat. Mungkin saja, di dalam sel para koruptor ada toilet pribadi, kamar pribadi, dokter pribadi, sipir pribadi, pengawal pribadi, bahkan bisa keluar masuk penjara sesuai dengan skenario ‘kongkalikong’ aparat yang ngurus penjara. Apa iya begitu? Coba deh, sekali-sekali Anda melancong ke penjara dan tanya kondisi maling kelas teri, mungkin mereka mengeluh dan iri melihat para koruptor yang bisa jadi hidupnya serba nikmat di penjara. Mungkin sebagian besar koruptor menilai ‘PENJARA MEMBAWA NIKMAT’.
Kembali ke kasus e-KTP, saya yakin dan percaya KPK sudah memiliki segerombolan nama oknum parlemen dan mantan pejabat yang diduga kuat ikut terlibat korupsi proyek e-KTP. Pertanyaannya ialah apakah data dan fakta yang dimiliki KPK itu sudah benar-benar valid? Seandainya data yang dimiliki KPK itu tidak valid dan bukti-buktinya kurang kuat, maka KPK akan kalah dalam persidangan.
Tapi, bila data dan fakta yang dimiliki KPK sangat valid dan buktinya kuat, maka kasus e-KTP akan menjadi momentum bersejarah bagi bangsa ini untuk membuktikan kepada rakyat dan dunia bahwa Indonesia sungguh-sungguh ingin ‘membantai’ koruptor sekaligus memutus mata rantai jaringan korupsi di jajaran pejabat negara.
Untuk menjaga agar momentum pemberantasan korupsi ini tetap terpelihara, maka rakyat harus terus mengawal persidangan skandal korupsi proyek e-KTP sampai tuntas. Pemerintah tak perlu khawatir dengan kegaduhan publik terhadap kasus e-KTP ini. Untuk kasus korupsi apapun, termasuk skandal e-KTP, kegaduhan publik sangat diperlukan sebagai bentuk kontrol sosial. [ Wawan Kuswandi ]
www.facebook.com/INDONESIAComment/
plus.google.com/+INDONESIAComment
Indocomm.blogspot.com
#INDONESIAComment
Deenwawan.photogallery.com