Akan akan tetapi, budaya konsumerisme terhadap aspek sandang di masa sekarang poly dikritisi oleh para aktivis buruh menjadi suatu kenyataan fast fashion,di mana tren sandang yang terus berganti memicu rakyat buat lebih konsumtif & terus membeli sandang, meski di waktu mereka nir membutuhkannya sekalipun. Mayoritas pola konsumerisme para pecinta gaya sandang pun hanya mementingkan tren & harga sandang yang semurah mungkin. Padahal bila harga suatu sandang semakin murah, maka semakin murah jua upah yang dibayarkan kepada buruh industri sandang yang memproduksinya. Akan akan tetapi ironisnya, aspek-aspek mendasar seperti kesejahteraan buruh yang memproduksi sandang-sandang tersebut diabaikan & bukanlah faktor determinan penting rakyat dalam membeli sandang.
Berbicara mengenai dilema kesejahteraan buruh sandang, Bangladesh adalah keliru satu dari poly negara yang cukup dikenal memakai kekurangan kesejahteraan buruh pakaiannya. Rendahnya kesejahteraan buruh sandang Bangladesh sejatinya adalah lawan asas, mengingat Bangladesh memiliki penghasilan yang sangat tinggi dari bidang industri sandang. Sektor garmen adalah lahan kehidupan bagi rakyat Bangladesh, semenjak beralihnya lahan-lahan pertanian menjadi industrialisasi pabrik-pabrik garmen sandang di negara yang dihuni oleh sekitar 168 juta penduduk ini. Bangladesh adalah industri sandang terbesar ke 2 di dunia, yang menyuplai merek-merek sandang perusahaan multi-nasional barat. Industri garmen Bangladesh selama ini sudah menghasilkan produk-produk sandang yang diekspor ke negara di berbagai belahan dunia.
Tidak heran, industri garmen adalah produsen terbesar ekspor Bangladesh yang setiap tahunnya yang bernilai sekitar Rp 194 triliun & adalah 79 persen dari pendapatan negara tersebut. Lebih dari 3,2 juta orang bekerja di sektor ini dalam 5000 pabrik garmen yang beredar di semua daerah Bangladesh. Bahkan industri sandang Bangladesh dianggap-sebut menjadi contoh sukses dalam konteks pemberdayaan wanita, karena sekitar 80 persen pekerja industri sandang di Bangladesh adalah wanita.
Pertumbuhan ekonomi Bangladesh karena prestasinya dalam bidang industri sandang menghasilkan Bangladesh digolongkan menjadi keliru satu dari contoh negara berkembang memakai keberhasilan pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) nomor 1, yaitu penghapusan kemiskinan ekstrim yang paling sukses di dunia.
Paradoks Di Balik Pertumbuhan Ekonomi Berbasiskan Industri Pakaian
Umumnya kita memiliki estimasi kapitalistis bahwa bila sebuah negara mengalami pertumbuhan ekonomi, maka secara nir langsung kepentingan & kesejahteraan rakyat secara individual dalam berbagai bidang pekerjaan pun akan turut terakomodir & terpenuhi secara ideal. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah harus melakukan liberalisasi ekonomi agar mempermudah masuknya arus investasi asing yang menaikkan produktivitas ekonomi negara. Jumlah rakyat yang terjebak kemiskinan pun akan semakin menurun, memakai banyaknya arus investasi asing dalam bentuk FDI (Foreign Direct Investment).
Tetapi bila ambisi pemerintah Bangladesh hanya terbatas pada pertumbuhan ekonomi buat menghapuskan kemiskinan ekstrim saja, maka sesungguhnya ambisi pertumbuhan ekonomi ini sudah mengabaikan aspek-aspek lain yang merepresentasikan keamanan manusia/human security dalam konteks kesejahteraan para buruh industri sandang yang sesungguhnya memiliki peranan besar dalam keberhasilan ekonomi Bangladesh.
Pada akhirnya, kita bisa melihat meningkatnya pertumbuhan ekonomi Bangladesh berbasiskan industri sandang & kurangnya kesejahteraan dari para buruh industri sandang Bangladesh menjadi sebuah lawan asas. Bangladesh adalah negara memakai populasi penduduk yang padat. memakai usia kerja/di bawah usia kerja yang terbesar di dunia. Hampir 70 persen dari 150 juta total populasi rakyat Bangladesh berada di bawah usia 35 tahun. Situasi demografis yang padat penduduk ini pun memungkinkan Bangladesh buat mendapatkan privilise demographic dividend atau dividen demografi, di mana kombinasi dari porto hayati yang murah & padatnya jumlah populasi penduduk akan menghasilkan sangat rendahnya porto upah buruh industri sandang yang harus dijamin & dibayar oleh para industri sandang di Bangladesh.
Meskipun begitu, upah buruh sandang terhitung sangat mini menjadi akibatnya nir dapat memenuhi taraf kesejahteraan buruh yang layak. Bangladesh sendiri adalah negara di urutan ke 2 memakai upah termurah bagi pekerja garmen sebanyak US$ 0.25 per jam. Rendahnya upah buruh industri sandang di Bangladesh tersebut adalah cerminan dari buruknya kesejahteraan buruh industri sandang di Bangladesh. Sehingga pada akhirnya, para buruh industri sandang di Bangladesh kesulitan buat memenuhi kehidupan mendasar famili sehari-harinya seperti kuliner, sandang, rumah, pengobatan,& pendidikan.
Isu buruknya kesejahteraan buruh industri sandang di Bangladesh sendiri bukanlah sebuah kenyataan baru & nir kunjung selesai semenjak mulai muncul ke permukaan di tahun 1990-an. Kasus pabrik Tazreen Fashions Garment yang terbakar pada 24 November 2012 mengakibatkan tewasnya 112 orang adalah bukti bahwa kesejahteraan & keselamatan kerja di Industri garmen Bangladesh dipertanyakan. Salah satu dilema signifikan mengenai buruknya kesejahteraan buruh industri sandang adalah kejadian rubuh & ambruknya bangunan pabrik & sentra perbelanjaan Rana Plaza Pada pagi hari tanggal 24 April 2013 yang memakan korban jiwa lebih dari 1.100 buruh & ratusan korban luka-luka.
Insiden ini berimplikasi pada meningkatnya aktivisme buruh sandang Bangladesh yang tidak jarang melakukan demonstrasi terhadap pemerintah & perusahaan multi-nasional guna memenuhi tuntutan mereka. Sudah tiga tahun berlalu & nyatanya para buruh korban kejadian Rana Plaza belum mendapatkan kompensasi yang adil & selayaknya diberikan baik oleh pemerintah setempat atas lalainya pengawasan & proteksi mereka terhadap kaum buruh, maupun perusahaan selaku pihak pemilik modal yang secara implisit melakukan pembiaran terhadap kondisi buruh yang nir layak.
Peran Kita Sebagai Konsumen - Pakaian Sebagai Perwujudan Prinsip
Isu mengenai kesejahteraan buruh di Bangladesh hanyalah keliru satu contoh dari poly dilema serupa di poly negara berkembang lainnya. Tidak menutup kemungkinan bahwa akan terdapat lebih poly dilema seperti Rana Plaza di masa depan, terutama di negara penuh investasi industri sandang seperti Indonesia. Keterlibatan Indonesia dalam Komunitas Ekonomi ASEAN & potensi penandatanganan Trans-Pacific Partnership diharapkan mampu membawa lebih poly investasi di Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi yang serius pada pertumbuhan ekonomi.
Akhir istilah, kita hanya bisa berharap bahwa proliferasi investasi di era perdagangan bebas diiringi memakai pemastian keselamatan & kesejahteraan buruh. Aika terdapat kejadian di masa mendatang mirip memakai yang terjadi di Rana Plaza, pemerintah Indonesia harus berkomitmen buat melayani keadilan bagi buruh Indonesia, bukan kepentingan perusahaan.
Salah satu hal yang paling sederhana yang bisa kita lakukan buat mencegah ketidakadilan pada buruh industri sandang ini terjadi adalah memakai mengasah kepekaan kita terhadap latar belakang perusahaan dari sandang bermerek yang akan kita beli.
Lebih dari sekedar mengikuti tren, kita harus melihat sandang yang kita pakai menjadi perwujudan prinsip kita. Ketika kita akan menghadapi sandang bermerek di lain waktu, kita harus lebih sadar akan kondisi & kesejahteraan buruh di belakang merek-merek sandang yang kita pakai. Sebagai konsumen, kita mampu membentuk pencerahan yang lebih baik terhadap dilema ini memakai menyesuaikan pilihan konsumsi kita memakai pengetahuan mengenai realitas yang dihadapi buruh industri sandang.
Mudah-mudahan suatu hari, industri sandang memakai merek maha-prestis mereka mampu mengganti perspektif mereka yang hanya melihat kaum buruh menjadi angka & variabel pada laporan laba urusan ekonomi mereka.